Naga Hitam Nusa Penida

    Kami sudah lama tidak bertemu karena kesibukan masing-masing. Kakak sepupuku ini termasuk awet muda. Usianya sepuluh tahun lebih tua bila dibandingkan dengan umurku, tetapi tampaknya ia semuda usiaku. Aku tidak menanyakan resep awet mudanya. Yang kuketahui hanyalah ia selalu bergembira. Pembawaannya tenang, tidak mudah terpengaruh oleh suasana yang datang mendadak. Dalam suka maupun duka selalu tersenyum.
     Kami berbicara tentang soal-soal keluarga. Hal ia akan mengawinkan anak sulungnya, dan anaknya yang lain yang akan ujian SLTA serta memasuki Perguruan Tinggi, penghapusan subsidi BBM dalam kaitannya dengan anggaran rumah tangga dan lain-lain. Ia punya banyak bahan untuk berbicara. Seolah-olah tidak ada habis-habisnya. Aku hanya menimpali sekali-dua.
     "Sebenarnya dari mana tadi?" tanyaku sesudah kami makan siang bersama.
     "Ah, hanya jalan-jalan ke Kajoran," jawabnya.
     "Ke Pak Sasra?"
     "Kok tahu."
     "Terkenal. Perlu apa?"
     "Sebenarnya soal sepele. Soal mimpi"
     "Lho soal mimpi saja kok sampai ke orang tua segala."
     "Mimpiku ini sudah tiga kali, berturut-turut dan selalu sama."
     "Apa kata Pak Sasra?"
     "Aku ditanya apakah punya keris yang tidak bersarung."
     "Lalu..?"
     "Aku tidak punya."
     "Ha, rupanya soal wesi aji, ya? Punya banyak?"
     "Banyak sih enggak. Ada beberapa saja. Dua belas keris dan tiga tombak."
     "Wah, lumayan juga."
     "Kau punya berapa?"
     "Satu pun tidak ada. Bapak punya sebilah dari Mataram. Itu juga entah ada isinya apa tidak, aku tidak tahu."
     "Susah juga mimpiku itu."
     "0, iya. Bagaimana sih mimpinya?"
     "Seorang wanita menuntut agar aku mengambil suaminya. Kalau tidak ia akan pergi menyusul suaminya."
     "Apa yang dikatakan Pak Sasra ada benarnya, tetapi juga belum tentu benar."
     "Maksudmu?"
     "Menurut pendapatku, 'suami' berarti 'jodoh'. Memang bisa diartikan keris mencari sarungnya. Tetapi itu terlalu mengada-ada. Kalau aku berpendapat bahwa jodoh berarti pasangan. Maka cobalah cari apakah ada benda pusaka itu  yang seharusnya berpasangan."
     Ia menepuk dahinya. "Benar. Memang ada. Aku membeli sebilah mata tombak dari seorang kenalan di Surabaya. Katanya tombak dari Bali. Mata tombak itu dulunya ada dua, tetapi yang satu entah di mana. Waktu clash kedua dulu hilang. Mungkin dibawa saudaranya yang pulang ke Bali."
     "Mungkin itulah yang minta dicarikan pasangannya."
     "Mungkin. Kalau ada waktu mari ke Sala untuk melihat mata tombak itu." Aku memang selalu mempunyai waktu luang. Kami berdua menuju ke Sala. Ke rumah kakak sepupuku. Hanya dalam waktu dua jam kami sudah berada di ruang tamu rumahnya di Kauman Sala. Ketiga mata tombak diperlihatkannya kepadaku. Yang dua tidak tampak ada keistimewaannya, sedangkan yang satu agak aneh. Pamor bilahnya ada gambar kepala ular menganga, tetapi taring yang keluar hanya satu. Sebelah kiri saja. Biasanya, gambar taring ular ada dua. Kiri dan kanan.
     "Pasti yang ini yang dari Bali," kataku.
     "Betul. Landeyannya kubuatkan dari galih asam."
     "Nah, kau sudah tahu apa arti mimpimu. Terserah bagaimana tindak lanjutnya."
     "Jadi, bilah tombak ini meminta agar pasangannya kubawa ke sini juga?"
     "Tafsiranku begitu. Terserah kau saja bagaimana."
     Ia termenung sejenak. Tidak lama kemudian ia menatapku tajam. Ia ingin mengemukakan sesuatu kepadaku.
     "Aku banyak pekerjaan," katanya. "Kau yang punya waktu luang. Aku minta tolong ..."
     "Karena aku penganggur, kau menyuruhku mencari bilah tombak ini. Begitu?"
     "Jangan sentimentil begitu. Aku kan tidak bermaksud..."
     "Baiklah. Aku memang sudah lama tidak ke Bali."
     "Kau pasti bahwa bilah yang satunya berada di Bali?"
     "Perasaanku mengatakan begitu. Kalau kau tidak keberatan, bilah yang ini akan kubawa."
     "Bawalah."
     Bilah itu dilepas dari gagangnya. Dibungkus dengan kain flanel lalu diserahkan kepadaku. Setelah menerima bilah tombak itu, kakakku masuk. Tidak lama kemudian ia menyerahkan sebuah amplop. Aku tidak perlu bertanya. Tentu uang jalan. Aku tidak perlu berbasa-basi. Uang itu kuterima. Tidak kuhitung. Baru setelah tiba di rumah kuhitung. Seratus lima puluh ribu rupiah, lebih dari cukup bagiku. Aku tidak memerlukan uang terlalu .banyak karena sahabat dan kenalanku cukup banyak di Bali. Walaupun aku sudah lama meninggalkan Pulau Dewata, tetapi kawan-kawanku masih lumayan banyaknya. Aku pernah tinggal di sana selama tiga tahun.
     Tiba di Denpasar, aku langsung ke rumah kawanku di Kayumas Kaja. Di sanalah aku menginap. Karena tidak ada waktu lagi aku hanya tidur saja sesudah berbincang-bincang sampai pukul sebelas malam. Aku tidak sempat jalan-jalan ke pusat kota yang sangat dekat. Malam itu bilah tombak itu berada atas kepalaku. Aku tidur di sekutu yang telah dijadikan kamar. Begitu terlena, aku bermimpi. Seorang wanita mendatangiku. Ia mengatakan bahwa aku harus ke Nusa Penida. Di sanalah "suaminya". Aku terbangun. Ternyata baru pukul satu malam. Aku tidak dapat tidur lagi lalu mencari minuman ke Pasar Senggol.
     Esok paginya ketika aku akan berjalan-ialan melemaskan otot di pagi hari aku bertemu dengan kawan lama. Wayan Rentig seorang perawat di RS Sanglah. Ia tinggal di Banjar Sading dekat Banjar Abian Timbul. Ketika ia menanyakan tentang diriku, kukatakan bahwa aku akan ke Nusa Penida mencari sebilah tombak kuno.
     "Nusa Penida,  Pak Jawo? Tidak main-main?"
     "Ya. Mengapa?"
     “Pak Jawo tahu sendiri kan bahayanya? Tetapi jangan khawatir. Kalau ada apa-apa mintalah tolong Dayu Pedanda Stri."
     Sebenarnya Rentig tahu namaku. Tetapi orang Bali biasa memanggil seseorang dengan nama daerahnya. Maka ia memanggil aku dengan panggilan Pak Jawo. Dan nama Idayu Pedanda Stri sudah kukenal lama sekali. Sejak tahun 1963. Ia seorang "dukun" yang hebat. Perkenalan kami secara kebetulan. Kami berbicara mengenai banyak hal. Tentang hari baik, kala, tanda-tanda yang semuanya kuketahui dari primbon dan masih dipercayai oleh masyarakat Bali. Juga tentang wayang yang sangat kukuasai karena kami dari keluarga dalang. Dulu dia tinggal di Kesiman dekat Sanur. Menurut Rentig dia sekarang di Tangled, Nusa Penida.
     Ketika sudah sarapan, aku pamit kepada kawanku untuk melanjutkan perjalanku ke Nusa Penida. Aku diantar dengan colt yang juga melayani rute ke Sanur. Dari Sanur aku menyewa perahu menyeberang ke Nusa Penida. Aku agak bingung melihat "kemajuan" daerah Sanur. Begitu juga pantainya tidak seperti dulu lagi. Tetapi aku tidak mau berpikir tentang itu sekarang. Pikiranku kupusatkan ke pulau di hadapanku. Aku berada di perahu yang berlayar tenang. Laut teduh hanya diwarnai riak-riak kecil.
     Begitu mendarat di Toyapakah, aku sudah mendapat berita bahwa di sebuah tempat ada ular hitam besar. Tidak ada orang yang berani mendekatinya. Katanya ular itu galak sekali. Beberapa orang yang mendekat dipatuknya dan mati hangus. Badan korban itu menghitam. Petugas kepolisian juga gagal membunuh ular itu. Dengan tembakan senapan juga tidak mempan. Ular itu seperti besi saja layaknya.
     "Saya ingin melihat. Di mana tempatnya?" kataku kepada pemilik warung tipat (ketupat).
     "Di sebuah bukit di dekat Tangled," jawabnya.
     "Lho di sana kan ada Balian terkenal"
     "Sudah dicoba tetapi gagal." "Baiklah. Saya akan melihatnya. Hanya melihat."
     Mereka mengangkat bahu. Barangkali mereka mencibir di belakangku. Tentu mereka mengatakan aku orang Jawa yang sok. Ah, masa bodoh. Walaupun aku berbicara dengan bahasa Bali, mereka masih mengenaliku sebagai orang Jawa. Sialan. Ternyata aku kurang tajam mengucapkan huruf "t". Seharusnya aku mengatakan thidhak bukannya tidak. Huh, lidah yang doyan tempe ini.
     Aku menyewa sebuah sepeda tua. Lumayan. Kukayuh sepeda itu terseok-seok menyusuri jalan yang tidak begitu lebar. Di bahuku tergantung bungkusan bilah tombak yang kubawa dari Sala. Sore hari aku tiba di Tangled. Mencari Idayu Pedanda Stri, tidaklah sulit. Orang tua itu ternyata masih mengenali diriku. Kami berbincang-bincang sampai malam.
     Ketika aku membaringkan diri, naluriku mengatakan bahwa aku harus berhati-hati. Entah dari mana datangnya bahaya itu. Aku mempersiapkan diri. Malam itu aku tidak berbaring ketika tidur, tetapi menyandarkan diri di tempat tidur dengan mengganjal punggungku dengan bantal. Mataku setengah terpejam, tetapi hatiku tetap jaga. Aku selalu waspada. Seluruh inderaku kupusatkan sehingga tidak memecah perhatianku.
     Lewat tengah malam, dari kisi jendela kulihat cahaya cemerlang datang dari sebelah barat menuju ke tempatku. Aku meluruskan punggungku. Duduk bersila di atas bale-bale tempatku beristirahat. Begitu cahaya itu menyibak masuk, kuacungkan kedua tanganku menangkis terjangannya yang masuk ke kamar. Tampaknya hendak menerpaku. Begitu cahaya kehijauan itu bertemu dengan kedua telapak tanganku, terasa panas bukan main. Badanku bergetar hebat, hampir saja aku jatuh pingsan. Namun kukuatkan hatiku, juga semangatku. Cahaya yang masih menggantung itu kuterjang dengan kepalan kedua tanganku. Kembali rasa panas membakar lenganku. Panas di tangan menjalar ke dadaku sehingga membuat napasku sesak. Hampir aku tidak dapat menahan tindihan panas yang makin membara. Segera kuingat bahwa di telapak tanganku telah dituliskan rajah Kalacakra. Dengan memusatkan seluruh jiwaku merapal aji Kalacakra, kubuka telapak tanganku.
     Cahaya hijau itu menerjang lagi, dia kupukul dengan telapak tanganku. Cahaya yang bagaikan bola api berwarna hijau itu mental ke luar rumah. Terdengar jeritan yang menyayatkan hati. Aku tidak memburu ke luar, tetapi kembali duduk bersila mengatur napas yang sudah sempat megap-megap. Sandi-sendi tulang tanganku bagaikan lepas. Aku sadar bahwa aku sudah memakai tenaga yang berlebihan. Tidak lama kemudian Idayu Pedanda Stri memasuki kamarku yang sebenarnya sekepat yang diberi dinding.
     "Terima kasih atas bantuanmu, Nak," katanya penuh kasih sayang. Dan para pembaca jangan membayangkan bahwa Idayu Pedanda Stri ini seorang gadis jelita, remaja putri. Bukan. Beliau sudah nenek-nenek. Usianya sudah lebih dari seratus tahun. Masa jaya Kerajaan Badung masih dialaminya. Ketika Denpasar masih dikelilingi hutan. Namun ia tampak masih tegap. Tingginya seratus enam puluh lima. Terlalu tinggi bagi seorang wanita. Keriput di wajahnya memang masih menampakkan sisa kecantikan di masa lalu, gadis kasta Brahmana yang tidak lepas dari keropak berisi ilmu-ilmu kebatinan.
     "Siapa yang datang tadi?" tanyaku "Luh Sukerti. Balian Nusa Penida," jawabnya sambil mengunyah sirihnya.
     "Mengapa memusuhi Anda?"
     "Dia tidak rela titiyang tinggal di sini." Titiyang adalah sebutan untuk dirinya sendiri bagi kasta Brahmana.
     "Mengapa begitu?"
     "Luh Sukerti menghendaki Ular Hitam di Bukit Babaran."
     Aku mengeluh pendek. Rupanya mereka yang bermata tajam sudah tahu apa sebenarnya ular atau yang dihebohkan sebagai Naga Hitam oleh penduduk itu.
     "Kedatangan saya juga untuk itu," kataku kemudian.
     "Titiyang tahu. Titiyang memang menjaga agar lipi itu tidak diambil orang lain. Dewa Ratu memberikan mimpi agar titiyang menjaganya. Tetapi Luh Sukerti tidak mau tahu."
     Sebenarnya ada tanda tanya mengenai Luh Sukerti. Menurut namanya ia pasti masih gadis. Tetapi melihat kemampuannya pasti sejajar dengan Idayu Pedanda Stri. Aku tidak bertanya lebih lanjut.
     "Tinggal saja dulu di sini. Nanti pada Kajang Kelion kita ambil barang itu." Empat hari luang kugunakan untuk segala macam kegiatan. Kadang aku ikut berbasan (membaca keropak dalam bahasa Jawa Kuno yang biasanya cerita Ramayana, Mahabharata, dan lain-lain) di rumah Kelian (Kepala Kampung). Kadang bertukar pikiran dengan beberapa orang pemuda yang sedang mempelajari perihal wayang kulit. Tentu saja aku sangat senang sebab aku juga menyenangi kesenian itu. Bukankah sudah kukatakan bahwa aku dari keluarga dalang.
     Pada hari Kajang Kelion aku menuju ke tempat Ular Hitam yang dihebohkan itu berada. Kebetulan waktu itu sedang purnama, langit sangat cerah. Aku berjalan sambil menenteng bilah tombak yang berada di dalam bungkusan kain flanel. Jalan setapak yang kulewati cukup baik. Idayu Pedanda Stri yang berjalan di depan terus saja melangkah tanpa berbicara atau menoleh kepadaku. Jalannya masih tegap. Tidak kudengar napas yang memburu. Aku harus mengacungkan jempol kepada wanita tua itu.
     Ketika tiba di lereng sebuah bukit, kami membelok ke selatan. Di sana tumbuhan cukup banyak. Pepohonan besar tumbuh dengan subur. Ketika tiba di dekat sebuah gua, Idayu Pedanda Stri memberi isyarat agar aku masuk. Mulut gua yang diterangi cahaya bulan memudahkan aku mencapainya. Dari cahaya putih yang memantul, jelas bahwa ini gua kapur. Setapak demi setapak aku masuk ke dalam gua yang gelap. Aku berhati-hati. Kuacungkan bilah tombak itu di depan.
     Setelah berjalan beberapa saat, terlihat berkas cahaya yang masuk ke gua. Rupanya ada celah di atas. Kini dengan jelas tampak seluruh ruangan. Di sebuah ceruk kulihat benda hitam besar menggeliat. Dua cahaya hijau cemerlang. Ketika mataku sudah biasa di dalam keadaan remang-remang, dapat kupastikan bahwa benda hitam itu adalah ular. Ya, ular yang besar. Bilah tombak di tanganku kugenggam erat-erat. Bilah itu terasa menggeliat juga.
     Tiba-tiba bilah tombak di tanganku meluncur, menerjang ke depan. Dan yang kulihat sungguh menakjubkan. Kini terlihat dua ekor ular besar yang saling melilit. Entah berkelahi, entah melepaskan rindu. Tetapi keduanya tidak saling menggigit. Tampak jelas betapa erotiknya gerakan keduanya Kini aku dapat memastikan bahwa keduanya sedang melepas rindu.
     Gerakannya makin lama makin hebat. Lilitan makin tak teratur. Cepat sekali. Lalu, dengan tiba-tiba keduanya meregang, dan ... berhenti diam. Begitu kuperhatikan, kedua ekor ular besar itu sudah tidak kelihatan lagi. Kuberanikan diri mendekat. Di tempat itu kini menggeletak dua bilah mata tombak. Kuambil keduanya, kubungkus dengan kain flanel yang kubawa. Di luar gua aku disambut oleh Idayu Padanda Stri yang tersenyum penuh kemenangan.

cerita Murhono HS
terbit di Majalah Senang no.00534, thn 1982

0 komentar:

Posting Komentar