Putri Genemio

     Genemio dalam istlah orang-orang Biak berarti pohon melinjo bagi orang-orang di tempat lain.
Menurut yang empunya cerita, dahulu hiduplah tiga bersaudara, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Ketiganya sudah lama ditinggal mati kedua orang tuanya. Maka itu mereka hidup mencari makan sendiri dengan susah payah. Kedua saudara laki-lakinya selalu mencari ikan dan si gadis hanya memetik daun genemo sehari-harinya.

     Pada suatu hari ketika sedang tidur, tiba-tiba datanglah seekor ular besar yang kemudian ikut tidur di sebelah gadis itu. Ketika bangun betapa terperanjatnya si gadis, tetapi ular itu segera berkata lembut.
     "Jangan sakiti aku saudaraku, aku akan membelamu bila perlu. Aku bukan ular yang buas dan jahat." Mendengar kata-kata itu semua yang mendengarnya terheran-heran. Dan sejak itu, sang ular menjadi sahabat mereka. Begitu baiknya ia, kemana saja ketiga bersaudara itu pergi mencari makan maka sang ular menyertai dan membantu mereka.
     Pada suatu hari ular itu berkata kepada mereka, bahwa kalau boleh ia akan memperistrikan si anak gadis. Dan begitulah menurut sahibul hikayat, gadis itu pun bersedia menjadi istri ular itu. Setelah selesai upacara perkawinan yang sederhana, si ular mengajak gadis itu pergi ke tempat tinggalnya yang agak jauh dari tempat kegianya tinggal selama ini. Ternyata benar dugaan gadis itu bahwa ular ini bukan ular biasa. Si ular juga mempunya seorang adik, berupa seorang gadis yang cantik. Maka tinggallah keluarga itu di sana bertiga. Gadis yang telah menjadi istri si ular itu, kemudian diberi nama Genemo oleh si ular suaminya.
     Kecurigaan putri Genemo makin hari makin menjadi-jadi, benarkah suaminya seekor ular sejati?
     Maka pada suatu hari ketika ular itu pergi, diikutinya dengan diam-diam. Ternyata ular itu menuju ke pantai. Dan betapa terperanjatnya, ketika tiba-tiba ular itu seperti berganti kulit. Seperti orang membuka baju saja dan keluarlah laki-laki yang tubuhnya agak kotor. Yang segera berlari dan menceburkan diri ke laut untuk mandi. Melihat kejadian ini, segeralah putri Genemo mencari baju atau kulit ular itu, lalu dibakarnya.
     Ketika laki-laki itu selesai mandi dan mencari kulitnya, betapa terperanjatnya ia kaena ia tak menjumpainya, kecuali Genemo yang ada. Putri Genemo pura-pura tak tahu siapa laki-laki kotor yang tak dapat segera berkata-kata sebab masih sibuk mencari-cari kulit ularnya.
     "Kamu tentu menyembunyikan kulit ular itu."
     "Apa?" sahut putri Genemo pura-pura kaget.
     "Katakan saja terus terang putri yang cantik, agar semua menjadi kebahagiaan."
     Mendengar bujukan laki-laki itu, maka berterus teranglah putri Genemo. Setelah ditunjukkannya di mana ia membakar kulit ular itu maka laki-laki itu segera mengambil abunya dan diusapkannya ke seluruh tubuhnya. Mendadak laki-laki itu berubah menjadi seorang pangeran yang gagah perkasa.
     Betapa gembiranya kedua orang itu. Dan ketika mereka kembali ke tempatnya, ternyata di tempat itu sudah berdiri sebuah istana yang megah.
     Dan tak lama kemudian terdengarlah peluit sebuah kapal dari arah lautan. Kapal itu mendekat karena melihat istana itu. Sampai di pesisir, pangeran ular datang menjemput. Dan siapa gerangan yang datang di antara awak kapalnya? Ternyata kakak putri Genemo sendiri sebagai kapten kapalnya. Ia turun ke darat dan berpelukan dengan pangeran ular yang tak pernah disebut-sebut siapa sebenarnya di dalam kisah lama ini.
     Kapten kapal itu kemudian melamar adik pangeran ular yang cantik jelita dan beberapa hari kemudian dirayakanlah perkawinan mereka.
     Ketika kapal hendak berlayar lagi, meriam dijajarkan dari pintu kerajaan sampai ke tangga kapal. Putri yang cantik meniti meriam itu seperti anak tangga. Setiap injakannya membuat dentuman seakan mengelu-elukan keberangkatan kapten kapal bersama sang putri. Maka berangkatlah kapal itu. Dua sejoli dari dua keluarga berpisah dan setelah itu tak ada sehibul hikayat yang menceritakan kelanjutannya.
Dari cerita orang-orang tua Biak yang dicatat oleh Muharran Syah AA, 
pegawai PDK Biak yang disampaikan kepada , Ircham Mc.  
diterbitkan di Majalah Senang 0534, thn.1982

0 komentar:

Posting Komentar