Si Pendekar

     "Permisi, Pak, dimana rumah Pak Pendekar?" Pertanyaan itu sudah rutin manakala ada orang luar kampung bersepeda motor atau membawa colt datang dengan sesuatu urusan. Sedang orang kampung menjadi terbiasa pula, belum ditanya sudah menunjukkan sendiri rumah Pak Pendekar. :Jika si tamu itu mempunyai ciri-ciri khusus seperti Pak Pendekar.
     Nama Pak Pendekar begitu terkenal melebihi lurahnya sendiri. Tamunya bahkan ada Yang dari Sema-rang,Yogya sampai Jakarta. Tamu dari ibu kota ada yang mengaku anak jenderal. Nama Pendekar dikenalnya dari mulut ke mulut dari orang-orang yang punya kegemaran sama dunia pendekar.
     Sebenarnya orang tua itu bukannya bernama pendekar. Ia mendapat julukan pendekar bukannya jago silat. Yang punya nama itu cuma ayam jantannya, ayam Bangkok. Orang awam mungkin tertawa mendengarnya, mengapa dia tidak merasa direndahkan diganti namanya dengan nama seekor ayam. Tetapi buat orang yang mengerti, nama itu suatu kehormatan. Nyatanya dia bangga. Di atas pintu kayu rumah ditulisnya dengan cat: "Pendekar", mengganti namanya yang asli.
     Istrinya menoleh tersenyum balik menyapa manakala ditegur orang Mbok Pendekar. Anaknya mengangguk jika ditanya apakah ia anak Pak Pendekar. Tetangganya dengan bangga akan mengatakan bahwa rumahnya persis di muka rumah Pak Pendekar manakala ada kenalan baru bertanya di pasar. Pak Ketua RT di Balai Desa bilang, "Saya wakil dari RT Pendekar". Bukan RT satu atau dua seperti lazimnya. Guru-guru lebih sering mengatakan ia mengajar di SD Pendekar, bukan di SD Anu hasil pemberian nama pemerintah.
     Pokoknya nama Pendekar mengangkasa tinggi dibawa angin ke segala penjuru, dan keharumannya tercium oleh mereka-mereka yang sedunia dengan Pak Pendekar. Dunia adu jago.
     Mereka mengincar Pendekar. Bersaing menawar agar Pak Pendekar melepaskan Pendekar. Namun Pak Pendekar tetap geleng kepala ketika seorang peminat dari Solo berani membelinya setengah juta. "Wong kemarin putranya Pak Jenderal bawa mobil B ke sini nawar sejuta tidak saya kasihkan", jawab Pak Pendekar sombong.
     Dari setengah sampai enam ratus, tujuh ratus, dari tujuh ratus lima puluh ribu rupiah kontan. Pak Pendekar tetap geleng-geleng kepala tegas. "Apo situ tak percaya?" tanya Pak Pendekar tambah sombong. Si tamu diam saja. Batinnya percaya ayam itu telah ditawar sejuta. Tetapi itu kemarin, sekarang, barangkali Pak Pendekar sedang butuh uang. Tetapi mana mungkin Pak Pendekar kering duit!
     "Dibeli berapa pun tidak bisa!!" Ia menegaskan setegas-tegasnya. Si tamu baru manggut-manggut ikut tegas. Gunanya menawar tadi supaya Pak Pendekar merasa kasihan lalu memberi prioritas. Dikeluarkannya rokok dan disulutkannya sekalian ke mulut Pak Pendekar. "Nyuwun sewu'; bahasanya halus. Tetapi betapa terkejutnya si tamu ketika mendapat jawaban, "Anda satu bulan lagi ke sini."
     Padahal 1001 pujian kepada Pendekar telah diucapkannya sambil meneliti satu per satu lancur (anak ayam) keturunan Pendekar yang sedang ramai makan dalam kandang bambu berderet berlampu penghangat dan bersap-sap itu. Ini sudah dipesan pak Anu dari Semarang. Ini sudah dikasih duit oleh mas Anu dari Wonogiri. Itu akan diambil orang Surabaya. Yang itu titipan. Dan seterusnya.
     "Masa semua sudah milik orang", ucap si tamu memohon. "Iya", jawab Pak Pendekar tegas, "Sebulan lagi Anda ke sini". Pak Pendekar menunjukkan beberapa ekor babon yang sedang mengeram yang nanti kalau menetas lahir di dunia tentunya ya Pendekar yunior.
     "Telurnya sajalah", maksudnya kalau semua lancur itu ada pemiliknya, si tamu mau membeli telurnya saja buat ditetaskan di Solo. Namun yang cuma telur tetapi berbapak Pendekar itu juga tak dapat, semua sudah ada yang memesan¬nya. "Pokoknya satu bulan lagi", kata Pak Pendekar.
     Ketika si tamu Solo itu meninggalkan halaman rumah tanpa diantar Pak Pendekar sampai ke pintu pagar sebab sedang menerima dayoh baru dari Wonogiri, seorang tetangga menghampiri. "Saya punya anak Pendekar".
     Ayam jago muda itu diteliti sebentar, memang bagus. "Tetapi saya sudah telanjur memberikan uang muka kepada Pak Pendekar", kata si tamu menolak halus. Ia sangsi apakah ayam itu seratus persen keturunan Pendekar.
     Seluruh tetangga hampir semua mempunyai keturunan Pendekar. Karena mereka selalu berusaha melemparkan ayam betinanya masuk ke pekarangan Pak Pendekar. Dari balik pagar diintip penuh harap, kalau-kalau si Pendekar lepas dari kurungan dan mau main cinta dengan betinanya. Tetapi kalau Pak Pendekar tahu ia akan langsung menangkap dan melemparkan ayam asing itu ke luar, atau melemparinya dengan batu.
     Colt itu meninggalkan desa Pendekar. Kepada temannya yang duduk di sebelah kanan, orang Solo itu menyalahkan diri sendiri. "Kita dulu lupa tidak pesan kepada Pak Pendekar ketika bertemu di Semarang".
     Uang sejuta memang banyak. Tetapi Pak Pendekar pernah sesumbar, walau diganti rugi dua juta pun ia tak akan gila menjualnya, Apakah anti uang sebanyak itu kalau kehilangan mata pencarian?
     Rumah bambu menjadi gedung. Pekarangan melebar ke kiri-kanan belakang tetapi tentu saja tidak ke depan, sebab ada jalan kampung. Hanya khusus di muka rumah jalan itu diaspal atas biaya sendiri, biar tidak berdebu. Dan jauh kalau berjalan, istrinya memancarkan cahaya, sebab pergelangan tangan, leher, telinga, dan rambut penuh perhiasan emas. Tanpa gelang, kalung, anting-anting, dan tusuk konde itu barangkali berat badan istrinya kalau ditimbang akan susut 2 ons. Ya, dua ons emas murni!
     Anak sulungnya yang baru masuk SMP sudah ber-Kawasaki ugal-ugalan di jalanan. Tetapi patuh aturan bapak, tidak pernah menstarter di halaman. Takut mengagetkan dinasti Pendekar.
     Semua itu atas rahmat si Pendekar yang semasa jaya-jayanya telah 30 kali bertanding dengan rekor 29 kali menang di antaranya 21 kali berhasil membunuh musuhnya di arena itu juga. Yang 8 kali lawannya lari terbirit-birit kemudian kalah dengan luka parah. Barangkali beberapa hari kemudian barn mati, tak tertolong oleh perawatan dan obat-obatan. Sedang yang draw, yaitu setahun yang lalu ketika melawan ayam jantan kepunyaan anak jende ral yang kemarin menawar sejuta itu.
     Peraturan adu ayam 3 ronde, tiap ronde memakan waktu seperempat jam dengan istirahat 3 menit, Saat itu Pak Pendekar bersedia waktunya diperpanjang sampai ada salah satu yang kalah, atau sama-sama mati kalau perlu, tetapi anak jenderal itu keberatan. "Jangan emosi Pak' Pendekar, ayam kita ini ayam kelas, tak mungkin ada yang mau takluk, Hasilnya akan tetap draw, tetapi sampyuh (sama-sama tewas)", katanya memohon.
     Mulai saat itulah Pak Pendekar memutuskan bahwa si Pendekar harus dipensiunkan dari arena. Karena sudah tua, napasnya mulai pendek, gerakannya jadi lamban dan pukulannya tidak lagi selalu menghasilkan luka pada musuh, apalagi membunuh. Hasil draw harus dimaklumi dengan penuh kesadaran. Musuhnya lebih muda dan sedang menaiki jenjang kebesaran di provinsi barat.
     Mulai saat itulah selama setahun ini pula Pak Pendekar tidak pernah lagi membawa Pendekar ke gelanggang. Keturunan Pendekar belum ada yang sudah siap menggantikan, masih lancur. Seorang kerabat menasihati agar beternak ayam dengan menjual keturunan Pendekar. Temyata laris sampai kewalahan menerima tamu, walau harga setiap ekor dipasang tinggi. Dan untuk mendapatkan sebutir telur berayah Pendekar itu saja orang tidak dapat datang langsung membeli. Harus mendaftar dulu. Diberi nomor antre seperti seorang pasien periksa ke dokter.
     Pada suatu hari besar yaitu pada bulan Maulud, Pak Pendekar melaksanakan hajatnya. Yaitu mengkhitankan anaknya yang ber-Kawasaki. Apa yang selama ini dibayangkan oleh seluruh warga kampung, "Betapa meriahnya andai Pak Pendekar punya gawe" itu terbukti. Semua orang diundang dengan kartu undangan cetak maupun serkiler, matah (lisan) bahkan lewat radio amatir, datang suami-istri. Belum lagi teman-teman anaknya sendiri.
     Pesta itu diselenggarakan selama 3 hari 3 malam dengan nanggap orkes gambus Melayu mulai sore, disambung wayang kulit sampai subuh. Siangnya jaranan. Pada malam yang ketiga yaitu yang terakhir, sebuah colt sibuk mengangkut berpeti-peti bir dan minuman keras sejak sore. Maklum acara puncak: Tayuban.
     Seluruh tamu kehormatan yaitu mulai para kepala desa, camat sampai pak Wedana sekabupaten, diundang. Seluruh ledek dan pesinden yang terkenal dan cantik tidak boleh melayani panggilan hajat lain. Mereka dijemput satu per satu dengan sedan carteran. Hasilnya terkumpul 12 orang perempuan penghibur. Di dapur, puluhan tetangga kerja keras dan bakti memasak. Beberapa ekor kambing disembelih dibuat gulai, kari, soto dan sate. Bumbu-bumbu dioverdosiskan, harus pedas. Beliau-beliau itu nanti butuh "panas". Jangan sampai mengecewakan. Lebih baik persediaan berlebih daripada kurang. Memalukan apabila ada tamu yang tidak kebagian makan enak.
     "Jangan sungkan-sungkan, anggap rumah sendiri. Apa yang kurang bilang saja. Kerjakan sendiri apa yang kauanggap benar. Tak usah tunggu perintah, bukan?!" begitu selalu bapak dan embok Pendekar menekankan kepada tetangga-tetangga. Di desa kehidupan rukun, gotong-royong kuat. Tetapi menghadapi orang kaya dan terkenal biasanya mereka sungkan, kaku dan serba takut. Hal itu disadari Mbok Pendekar. Makanya dia selalu bicara memberi keleluasaan kepada mereka buat membantu. "Be¬as, terserah sajalah keinginan kalian" — begitu  Mbok Pendekar hilir-mudik ke dapur besar. "Inggih ibu, inggih ndara", mereka menurut patuh. Beberapa tahun yang lalu Mbok Pendekar ini belum pernah dipanggil ibu, apalagi ndara. Perubahan ini terjadi atas jasa anak sulungnya yang sekolah SMP di kota dan yang selalu memberi contoh kepada semua warga desa dengan mengatakan Ibuku
     Magrib baru berlalu, namun tamu sudah mulai berdatangan. Deretan colt, sedan, sepeda motor, becak dan dokar memanjang dari ujung barat sampai timur jalan gang, yang kalau diukur mungkin sekitar setengah kilometer jauhnya. Beberapa tetangga memanfaatkannya dengan menarik sewa parkir dengan menyediakan halaman rumahnya buat tempat penitipan kendaraan. Gang itu tertutup untuk umum. Yang masuk ditanya Hansip: Undangan ke Pak Pendekar atau bukan?
     "Tambah peladen (pelayan) 10 orang lagi. Generatornya apa sip (safe) betul? Berapa puluh lampu petromaks untuk jaga-jaga? Tukang fotonya kalau cuma seorang kurang, aku tak mau kalau tidak kelir (colour). Piring sendok garpu baki gelas sewa lagi. Esnya berapa balok? Cepat  !" Pendekar suami-istri jadi cerewet sekali di belakang.
     "Gampang, gampang. Beres, beres. Pokoknya cepat, pokoknya kerjakan", katanya seperti tersinggung dan tak sabaran manakala ada yang seperti ragu-ragu mengenai segala ongkos dan biaya tambahan yang besok harus dibayar. Di Pintu masuk dan segala sudut ruangan perjamuan jumlah kotak buwuhan ditambah, maklum tamu yang datang di luar dugaan. Catatan: Di kota orang yang diundang membawa kado berupa barang. Tetapi di desa atau kampung biasanya berlaku sistem buwuhan. Yaitu si tamu cukup mengambil amplop, menulis nama, alamat, dan jabatannya di amplop itu kemudian memasukkan duit. Ketika pulang menyerahkannya kepada petugas, biasanya dari keluarga sendiri yang dapat dipercaya. Sebelum dimasukkan ke dalam kotak buwuhan, terang-terangan si petugas membuka dan menghitung serta mencatat berapa jumlah uang buwuhan dari pak Anu.
     Walau semalam suntuk mabuk-mabukan menari bergending dan main judi, Pak Pendekar tak mau merasakan kantuknya. Walau pagi itu sering menguap dan matanya merah.
     "Sukses, sukses, sukses!" Ia geleng-geleng kepala kagum tidak mengira peristiwa 3 hari 3 malam itu begitu sukses, sukses, sukses. Sukses, ya Bu? Istrinya mengangguk. Sukses, ya Jon? Anaknya mengangguk, Sukses, ya Yu? Orang-orang yang sedang siap-siap di belakang menoleh dan serentak mengangguk. Kedua tangannya merogoh saku kiri-kanan celana mengeluarkan duit. Tanpa menghitung entah ada puluhan ribuannya, dua gumpal duit itu dilemparkannya ke arah mereka. "Ini hadiah kaliah". Eh — Pak Pendekar tiba-tiba teringat sesuatu. Pendekar belum dielus-elus dan dikasi makan. Sesaat kemudian yang di dapur mendengar Pak Pendekar berteriak-teriak marah. "Ada apa Ndara?" tanya seseorang mendatanginya ke kandang. 0o, beliau bingung mencari ayamnya.
     Orang itu tak beranjak dari tempatnya berdiri walau Pak Pendekar membentak beberapa kali supaya mencari Pendekar yang lepas dari kurungan. Beberapa saat kemudian sambil menangis ketakutan ia melaporkan yang sebenarnya. Bahwa tadi malam sebab takut persediaan daging kurang cukup karena banyaknya tamu, orang-orang di dapur ke kandang di belakang.
     "Apa?" Pak Pendekar histeris. Dikais-kaisnya bulu-bulu dari belasan ayam yang telah dibuang ke tempat sampah. Ketika bulu warna wiring kuning itu tampak, seluruh orang di dapur berhamburan ke luar melihat, demi mendengar teriakan dahsyat.
     Mereka menjumpai Pak Pendekar rebah di tanah hampir terguling masuk ke lubang sampah. Pak Pendekar dipanggil Tuhan Yang Mahaesa. Berita itu cepat meluas. Orang-orang berdukacita dan hari itu untuk pertama kali selama sekian tahun ini nama Pak Pendekar yang sebenarnya diucapkan orang: Pak Kromo meninggal karena kaget. 
(AYIEK SYARIFUDDIN)

3 komentar:

Hariyanto Wijoyo at: 21 April 2013 pukul 22.04 mengatakan...

cerita yang luarbiasa, endingnya bikin kaget dan menimbulkan pertanyaan, apa hubungannya pak pendekar dengan ayam yang juga bernama pendekar...apakah..... :-)

Hero Fitrianto at: 2 Juli 2013 pukul 10.13 mengatakan...

hehehe.. makasih sudah mampir dan komentarnya Mas.. :-)

Unknown at: 4 Februari 2018 pukul 03.35 mengatakan...

Kangen Bapakku Tercinta (Alm Pak Ayiek Syarifuddin)

Posting Komentar