Bajak Laut Selat Mangkaliat

     Ketika Perang Dunia Kedua meletus, Selat Mangkaliat ditakuti oleh para pelayar, sebagai selat yang kotor, karena berkeliarannya kapal-kapal selam sekutu, yang mengintai kapal-kapal Jepang. Dan setelah perang usai, ketika Jepang bertekuk lutut, Selat Mangkaliat tetap ditakuti oleh para pelayar, dengan munculnya di selat itu sebuah perahu bajak laut yang terkenal amat buas dan ganas, siap menghadang dan merampok perahu para penyelundup kopra, baik yang datang dari jurusan SAngkulirang, atau dari Pantai Sulawesi.
     Perahu bajak laut yang berwarna hitam, dengan layar putih bergambar tengkorak hitam, dengan tulang bersilang menjadi lambang yang paling menakutkan. Ia mempunyai anak buah yang terlatih dengan senjata lengkap di bawah pimpinan seorang kepala merangkap nakhoda, bernama Patolla. Penduduk pesisir pantai Sulawesi mulanya mengenal nama Patolla sebagai jumpo dan mata-mata Jepang. Ketika tentara sekutu mendarat, Patolla melarikan diri. Takut mendapat pembalasan dari penduduk oleh kekejamannya di zaman Jepang. Kemudian mengumpulkan beberapa anak buah untuk beroperasi di laut, melakukan perampokan dan pembunuan.
     Wanita-wanita cantik ditawan dan dijadikan santapan hawa nafsu iblisnya. Setelah puas diperkosa lalu dibunuh dan dibuang ke laut. Bajak laut berdarah dingin ini sudah tidak mempunyai rasa kemanusiaan lagi. Darah, pekikan dan jeritan baginya merupakan nyanyian mengasyikkan.
     Suatu ketika perahu layar Patolla yang bernama Hantu Laut sedang berlayar di Selat Mangkaliat. Angin Timur berembus lembut, mengepakkan layar perahunya. Patolla tersenyum-senyum gembira melihat keadaan laut yang tenang dan cuaca yang jernih. BAginya keadaan laut seperti itu sangat menguntungkan, karena ia akan sangat mudah untuk menyergap mangsanya dengan perahunya yang laju.
     Tiba-tiba jauh di depan sayup-sayup terlihat sebuah layar perahu memutih diterpa sinar matahari. Mata Patolla bersina-sinar melihat mangsa di depan perahunya. Ia memerintahkan anak buahnya mengencangkan tali layar, untuk memburu perahu yang ada di depannya. Dan seketika meluncurlah perahu Patolla dengan lajunya. Tak payah bagi Hantu Laut untuk mengejar perahu yang akan menjadi mangsanya itu. Dalam waktu tak sampai atu jam Hantu Laut sudah menyerempet perahu yang sarat dengan muatan kopran, yang akan diselundupkan ke Tawau. Dengan pistol di pinggang, Patolla berdiri di haluan perahu. Ia menembak ke atas tiga kali, memerintahkan agar mangsanya menurunkan layar. Dengan penuh ketakutan perahu itu menurunkan layar. Dan Hantu Laut pun merapat seraya melemparkan tali kepada mangsanya.
     Patolla tersenyum gembira melihat perahu yang sarat dengan muatan kopra itu. Penumpangnya terdiri daru dua orang laki-laki separuh umur dan dua orang wanita muda berparas cantik. Patolla memerintahkan agar penumpang perahu itu membongkar dan memindahkan kopranya, yang dilakukan kedua lelaki itu denan tubuh menggigil ketakutan. Mereka kini insyaf telah jatuh ke tangan perampok laut yang buas dan ganas. Kedua wanita muda yang ada di dalam perahu itu diperintahkan Patolla pindah ke perahunya.
     Setelah pemindahan kopra selesai, Patolla memerintahkan kedua laki-laki itu kembali naik ke perahunya, kemudian Patolla memerintahkan anak muahnya merampas layar perahu mereka dan melepaskan ikatan perahu itu sebelum meninggalkannya terkatung-katung tanpa layar.
     Tinggal terdengar jeritan dan tangisan yang memilukan kedua wanita muda itu. Patolla berdiri bertolak pinggang dengan senyum kemenangan melihat tawanan yang masih muda dan cantik.
     Anak-anak perahunya tahu pasti kedua wanita itu akan menjadi santapan pemimpinnya yang tak berperikemanusiaan. Salah seorang anak buah Patolla yang bernama BAhar, memandang kedua wanita itu dengan mata tak berkedip. Lama ia diam-diam memperhatikan mereka. Lalu ia mempertajam ingatannya. Ia merasa masih mengenal kedua wanita itu, wanita yang sebenarnya masih ada pertalian keluarga dengan dirinya. Diingat-ingatnya, kalau tak salah wanita muda itu bernama Fatimah dan Hadijah. Ketika wanita itu melihat Bahar, tampak keduanya seolah-olah kaget dan ingin berkata kepada Bahar, namun Bahar cepat memberi isyarat dengan mengacungkan telunjut ke mulutnya. Bahar berpikir keras untuk menolong kedua wanita itu. Sebenarnya hati kecilnya sangat tidak menyetuhui tindakan pimpinannya yang ganas dan kejam, yang kadang-kadang memandang nyawa manusia tak lebih dari nyawa seekor ayam.
     Ia dijadikan anak buah perahu itu, adalah karena ditawan dalam suatu pelayaran. Sudah lama ia berniat untuk lari, namun tidak ada kesempatan, karena perahu Hantu Laut jarang merapat ke pantai, paling-paling menuju ke Tawau, menjual hasil rampokannya. Di Tawau ia tak bebas untuk naik ke darat sebaba selalu diawasi dan tidak diperbolehkan berkeliaran.
     Ketka hari sudah menjelang senja, dalam kesempatan memberikan air minum dan makanan kepada kedua wanita itu, Bahar sempat bertanya dengan suara berbisik, "Kau yang bernama Hadijah dan Fatimah asal dari Majenne?" Kedua wanita itu mengangguk seraya menjawab, "Kalau tak salah kau ini Bahar. Ya Allah mengapa kau sampai masuk komplotan ini?"
     "Sssstt... kalian tenang-tenang saja aku akan berusaha menolong kalian. Berbuatlah setenang mungkin." BAhar berlalu cepat ke buritan perahu.
     Di buritan ia termenung, merenungi malam yang pekat tak berbintang. Di langit tampak awan hitam bergumpal-gumpal, pertanda badai akan turun. Pikiran Bahar tertuju kepada Hadijah dan Fatimah, yang sebentar malam pasti akan diperkosa pimpinannya. Ia menadahkan mukanya ke langit, sebutir bintang pun tak tampak. Angin mulai berembus kencang membuat ombak menggila memukul-mukul badan perahu.
     Dan Bahar melihat Patolla sudah memerintahkan anak buahnya berjaga-jaga di bagian depan dan belakang perahu. Tak seorang pun yang boleh masuk ke ruang bawah. Bahar tahu Patolla pasti sudah akan mulai menggerayangi kedua wanita itu. Dengan merangkak di atas atap perahu BAhar cepat berlari ke bagian depan. Ombak mulai keras memukul-mukul badan perahu, namun perahu masih terus melancar laju. Tiba-tiba BAhar memasuki ruangan bawah seraya berteriak memanggil Patolla.
     "Cepat Bapak keluar... di depan kita ada perahu layar lagi. Kita mendapat mangasa baru lagi." Mendengar teriakan Bahar, Patollah yang tadinya sudah bersiap-siap memulai rencananya memuaskan hawa nafsunya, dengan mendongkol segera keluar. Seraya bertolak pinggang ia bertanya, "Mana perahu itu...?"
     Bahar mendekat Patolla dan tangannya menunjuk ke depan. "Coba Bapak lihat betul-betul bukankah yang memutih itu layar perahu..?"
     Begitu Patolla meju mendekati pinggir perahu mempertajam pandangannya, dengan gerak kilat, Bahar menikam punggung Patolla dengan badiknya, lalu menolakkannya ke laut. Di kegelapan malam, bertarung dengan deburan ombak terdengar jeritan Patolla, namun suaranya tenggelam ditelah gemuruh angin dan ombak. Bahar tertawa mengakak seraya teria, "Hai..kawan-kawan, pemimpin bajingan itu telah kutenggelamkan ke laut, dengan luka yang parah akibat tusukan badikku. Biarkan ia mampus dimakan ikan hiu.. sekarang perahu dan harta di dalam perahu ini milik kita bersama..."
     Kawan-kawan Bahar berlarian mendapatkan Bahar. Mereka semuanya segan kepada Bahar, yang kemudian berkata lagi, "Tahukan kalian.. aku sudah lama berniat meninggalkan perbuatan terkutuk ini. Kebencianku memuncak ketika aku menyadari kedua wanita yang disandera itu, adalah daran dagingku, mereka adalah keluargaku. Maukah kalian menuruti nasihatku..? Mulai sekarang kita bersumpah menghentikan perbuatan terkutuk ini. Perahu kita bawa ke pantai Sulawesi, layar yang berlambang tengkorak kita robek bila mencapai pantai dan tulisan Hantu Laut cepat kita hapus dan kita berjanji akanmenjadi manusia baik-baik. Biarkan SElat Mangkaliat aman dan tenang.. Setujukah kalian..?"
     Semua kawan Bahar berterai menyatakan setuju danmereka semua bersumpah dan berjanji akan menuruti nasihat Bahar. Begitu mereka mengucapkan sumpah dan janji, tiba-tiba cuaca menjadi cerah, laut berubah menjadi tenang. Dari dasar laut, tersembul bola perak yang benjol memercikkan cahaya yang gemilang, seolah-olah rembulan turut bersuka cita dengan janji dan sumpah bajak laut itu. Dan perahu mereka pun melancar dengan lajunya mencari arah pantai.
     Sementara itu Patolla yang tertikan dari belakang, timbul tenggelam dibantingkan ombak. Punggungnya yang mengucurkan darah, terasa perih terkena air laut. Namun ia terus berusaha berenang dengan susah payah. Di kejauhan terlihat olehnya layar perahunya meluncur laju semakin mengecil dan semakin jauh. Ombak terus mengombang-ambingkan tubuhnya. Dan ketika ombak mulai tenang serta rembulan mulai bersinar, Patolla berhasil mendapatkan pohon nipah yang hanyut lalu bertopang. Ia mencoba menahan sakit sekuat-kuatnya. Sementara arus menghanyukan tubuhnya dengan kencang. Ketika sudah laurt malam, sebuah pukulan ombak yang kuat membantingkan tubuhnya ke pantai. Patolla merasa bersyukur, walaupun dalam keadaan payah, ia bisa mencapai pantai. Dengan lesu ia mencoba merangkak. Lukanya terasa sangat pedih.
     Ia merasa lapar dan dahaga.
     Sebagai seorang pelaut ya mengingat dan masih mengenal pantai itu adalah pantai Tanjung Mangkaliat. Dengan sangat susah payah ia terus merangkak. Tiba-tiba di kejauhan ia melihat cahaya lampu bersina-sinar, dari balik pohon-pohonan yang rimbun lebat. Patolla mengingat-ingat, dulu kalau tidak salah ingat di situ terdapat sebuah perumahan penunggu mercu suar. Mungkin di situ ia akan mendapat pertolongan. Patolla mengumpulkan seluruh kekuatannya menuju ke arah lampu itu. Ia berjalan terhuyung-huyung, akhirnya berhasil juga mencapat tempat itu. Benar juga dugaannya. Tempat itu sebuah bekas perumahan mercu suar. Ia cepat mendekatinya dan menaiki tangga rumah itu.
     Pintunya terkuak dan jelas tampak seorang laki-laki uta sedang mengahadapi lampu tempel memperbaiki pukatnya. Patolla lalu naik dan menyapanya. Orang tua itu tak menjawab, hanya menatapnya dengan sorotan mata yang tajam. Patolla memperlihatkan belakangnya yang luka berdarah, kemudian berkata meminta air minum dan makan. Orang tua itu tak menjawab, hanya berlalu ke belakang, kemudian membawakan air minum dan sepiring singkong rebus. Patolla mengira mungkin orang tua itu bisa, tak bisa berbicara.
     Tanpa disuruh lagi Patolla cepat minum dan melahap singkong rebus itu. Selesai makan ia terus terbaring kelelahan merasakan lukanya yang nyeri. Dan dalam keletihan amat sangat, ia tertidur.
     Esoknya ketika Patolla sadar, sambil menggosok-gosok matanya, ia menoleh berkeliling. Betapa kagetnya ia, orang tua yang dilihatnya tadi malam, ternyata sudah menjadi bangkai yang tergeletai di sampingnya, menyebarkan bau busuk. Dan di kiri kanannya bergulingan tengkoran-tengkoran manusia. Patolla memperhatikan bangkai orang tua itu, kemudian baru ia teringat. Beberapa waktu yang lampau ketika merampok sebuah perahu, ia pernah menembak kepala orang tua itu sampai benaknya bertaburan kemudian mendorongkannya ke laut.
     Dan tengkoran yang bergulingan di kanan kirinya, berubah bentuk menjadi mayat-mayat yang pernah dibunuhnya di tengah laut. Di sampingnya lagi dilihatnya gelas yang diminumnya tadi malam penuh berisi daran dan sebuah piring berisi potongan tulang-tulang manusia. Itulah rupanya yang diminum dan dimakannya tadi malam. Akhirnya Patolla merasa ngeri dan ketakutan.
     Ketika ia mencoba lari, ia jatuh terjerembab dari anak tangga rumah itu, kemudian dalam keadaan sangat payah, ia mengembuskan napasnya yang penghabisan. Tamatlah riwayat Patolla sebagai bajak laut yang amat buas dan ganas.
     Beberapa hari kemudian sebuah perahu yang kehabisan air tawar dan mendarat di pantai Mangkaliat menemukan mayat bajak laut itu dalam keadaan sudah membusuk dirubung lalat hijau dan ulat-ulat.

cerita : Masran H.A.
majalah Senang edisi 0534, thn 1982
Baca selengkapnya »

Perewangan Gunung Sireum Bandung Selatan

     Wasiat Resi :

          Gunung menyimpan sejarah tertua sebelum manusia.
          Sejarah kekuasaan makhluk yang lebih tua.
          Sungguhpun Adam ditetapkan menjadi Khalifah Utama.
          Ada juga yang bergantung kepada benang
          selemah benang sarang laba-laba ..


     Hari ini Sarman menghitung kembali hari-hari yang telah dilaluinya. Dibalik-baliknya setiap halaman kalender yang telah penuh dengan tanda silang. Dan dijumlahkannya setiap silang itu pada akhir setiap tahun yang berlalu. Dengan hati berdebar-debar keras ditotalnya,keseluruhan angka yang diperolehnya. Genap tujuh tahun, atau 2.555 hari. la berharap semoga bukan itulah angka yang tercatat di Gunung Sireum.
     Tetapi harapan itu, adalah harapan yang paling lemah. Seperti seseorang berharap matahari lebih cepat terbenam. Dan orang seperti itu akan berlindung di balik bukit, agar matahari cepat hilang dari pemandangannya. Sungguhpun matahari masih menerangi bagian bukit yang lain.
     Hitungan itu telah menyedot seluruh cahaya di tubuh Sarman. Sehingga ia tidak lebih dari seorang insan yang telah kehilangan roh Illahinya sama sekali. Semakin berangsur malam, ia semakin lunglai. Semakin lesu, seperti batang keladi didekatkan dengan panas api unggun. Terasa baginya, tak ada kodrat lain yang dapat mengubah hari-hari yang telah dilaluinya. Kecuali jika dunia kiamat malam ini, barulah mungkin ia dapat menghapus janji lain yang ditetapkan. Pukul 10 malam, ia mandi keramas bersih-bersih, dengan air yang dicampur beberapa bungkus bunga yang telah ditentukan sejak tujuh tahun yang lain. Jenis bunga itu mempunyai kodrat sebagai sarana udara yang bertalian dengan puncak Gunung Sireum.
     Selesai mandi, ia duduk di kursi menghadap ke daun pintu yang tertutup tetapi tidak dikunci. Cara ia duduk itu bukan kebetulan saja. Tetapi tepat di depan Sarman duduk jauh di sana, sebenarnya menghadap gunung yang dijelajahinya 7 tahun yang lalu bersama Rudin, Sateh, dan Garada.
     Mereka telah kaya-kaya, sungguhpun tempat mereka agak berjauhan di Bandung, Bogor, Sukabumi dan Garut. Tetapi mereka sering saling mengirim su¬rat, menghitung hari yang telah ditentukan. Dan berpikir-pikir untuk mengelak jika hari yang menakutkan itu datang juga.
     Kening Sarman yang pucat, melelehkan keringat dingin. Sedangkan gandulan jam kuno di sampingnya melenggang ke kiri dan ke kanan seperti orang menggeleng-gelengkan kepala dan merasa kasihan kepada nasib Sarman yang terakhir. Detak jantung Sarman telah lebih lambat dari detak gandulan jam dinding itu. Dengan jarum yang beringsut seperti tak dapat diiringi dengan mata. Tetapi tiba-tiba saja ia telah menunjukkan pukul 12 malam kurang 9 menit.
     Malam Jumat Kliwon. Malam saat roh didekatkan dengan kubumya. Malam alam barzah dibukakan. Dan juga malam para setan menarik orang-orang yang telah memenuhi janji untuk ke alam mereka.
     Sayup-sayup terdengar bunyi tapak kuda beradu dengan batu jalanan. Lambat tetapi pasti semakin dekat, sungguhpun langkahnya semakin pelan. Kuda itu telah turun dari kaki Gunung Sireum. Luncurannya rata, tidak mengikuti gelombang bukit dan Iurah yang dalam. Kuda gaib yang mungkin hanya Sarman saja yang dapat melihat dan merabanya. Di atasnya ada seorang berkerudung kain merah darah duduk dengan tenang, tanpa terguncang sedikit pun. Dia seorang wanita cantik berwajah putih seperti lilin. Tetapi kecantikan itu menjadi sumbang dan merindingkan bulu roma, karena rona tak berdarah seperti mayat hidup yang dipupur seperti pengantin dengan bedak tebal menghilangkan wajali aslinya. Bunyi tapak kuda itu berhenti di halaman rumah Sarman. Diiringi suatu kodrat, seluruh istri dan anaknya tertidur seperti hening orang mati. Dan udara malam mengubah ruangan rumah menjadi seperti gua-gua pengawet mayat di Toraja.
     Tiba-tiba mata wanita cantik itu memancarkan dua sorot merah bercampur biru di sekelilingnya.
     "Aku datang menjemputmu,.. Sarman. Aku istrimu," bunyi getaran suara beku dingin dari halaman. Suara itu lemah dan pasrah. Tetapi dapat menem¬bus daun pintu yang tertutup. Perlahan-lahan, diiringi oleh angin dingin yang menguakkan daun pintu. Perlahan-lahan pula Sarman memiringkan matanya ke jam gantung. Jarum pendek dan jarum panjangnya telah bersatu. Tak lama kemudian terdengar bunyi dentangan mendengung, seperti gong yang mengantarkan barisan pembakaran mayat di Bali. Bibir Sarman bergetar seperti kedinginan. Ingin rasanya ia menjawab suara itu, menolak undangan wanita cantik yang mengendarai kuda gaib di luar rumahnya itu. Tetapi sejak tujuh tahun yang lalu, Sarman sendiri sebenarnya telah meninggalkan salah situ ujung tali rohnya di Gunung Sireum. Tali roh itu telah ditancapkannya kepada putri gaib yang diakuinya sebagai istrinya di gunung itu.
     "Anak-anak kita telah menantikanmu, ... Sarman, susul suara itu lagi. "Bukankah telah genap janji, bahwa kau akan pulang hari ini?" Air mata Sarman tergenang di bola matanya. Ia sendiri tak dapat menyadari lagi, apakah makna air mata dirinya itu sendiri. Apakah air mata penyesalan, atau air mata terharu, karena akan meninggalkan istri dan anaknya yang sedang tidur nyenyak? Besok tentu semua keluarga akan heran, karena ia pergi tanpa pesan dan jejak. Raib seperti terisap oleh kekuatan langit.
     Seperti orang yang kena hipnotis perlahan-lahan Sarman melangkah ke depan pintu yang sudah terbuka. Baju panjang dan kerudung merah, berlatar belakang kegelapan malam yang pekat terlihat seperti bara neraka yang menyembul dari pusat bumi. Tersaruk-saruk Sarman menuruni tangga. Tangan pucat putih menyambutnya dari atas kuda hitam. Seperti seringan kapas, tubuh Sarman melayang ke belakang perempuan yang memegang kekang. Ketika itu gandulan jam dinding yang bergoyang tetap setia menunjukkan waktu. Tetapi tuannya sendiri telah berangkat ke alam lain... Tujuh tahun yang lalu, Sarman bersama tiga orang lain mendaki Gunung Sireum Bandung Selatan. Mereka terpengaruh oleh ajakan seorang tua berbaju hitam yang tiba-tiba muncul di kampung mereka, Sarman, Rudin, Sateh, dan Garada, menceritakan bahwa mereka pada waktu yang sama di hari yang sama pula, didatangi seseorang yang mengaku sebagai utusan dari salah satu kerajaan kaya raya di kaki gunung. Dan serentak pula mereka berhenti di sebuah warung kecil yang jaraknya hanya 1 kilometer lagi dari pendakian lereng gunung itu.
     "Aku jadi bingung," geleng Sateh, "mustahil dalam waktu yang sama utusan itu mendatangi kita. Terlebih lagi dengan bentuk dan penampilan yang serupa pula."
     "Mungkin saja,.. . sama pakaiannya dan tuanya, tetapi bukankah kita tidak mempunyai fotonya?" tukas Rudin. Berlainan dengan suasana di sebuah restoran besar di tengah kota, sebuah warung kecil di tempat sunyi, membuat orang cepat berkenalan dan akrab. Seperti mereka yang datang dari tempat yang berjauhan, menerima titah datang ke tempat yang sama, dengan tujuan yang sama pula.
     "Bapak-bapak ini .akan pergi ke Gunung Sireum, bukan?" tanya pemilik warung.
     Mereka bertiga berpandangan, dan Garada yang menyahut, "Mamang tahu juga rupanya."
     "Sudah 27 tahun aku di sini, meneruskan wasiat kakek kami yang ratusan tahun tilem ke gunung itu," jawab pemilik warung.
     "Tilem?" songsong Sateh, hampir serentak dengan suara Rudin.
     "Ya ... tilem," ulang yang punya warung lagi" Terkadang datang juga ia menjumpai anak cucunya, sekedar muncul di halaman rumah. Mewasiatkan agar warung ini tetap dibuka sepanjang malam." Mereka, baru menyadari keanehan warung yang telah puluhan tahun tetapi keadaannya tetap seperti baru itu. Dan setelah mereka berpikir bahwa hanya orang-orang tertentu saja yang datang seperti mereka memenuhi panggilan yang datang ke tempat itu, keraguan mereka disaput keraguan lagi.
     "Biasanya sebelum matahari tegak kalian sudah harus berada di lereng gunung itu," kata pemilik warung yang wajahnya memendam beribu rahasia itu lagi.
     Tak disangka mereka sama sekali, gunung yang kelihatannya sederhana dari jauh itu, berisi hutan tua. Seperti tidak pernah disentuh manusia. Semak-semak setinggi kepala. Akar-akar yang berpintalan, saling rajut-merajut mengambang di atas mereka. Ada yang menghunjam ke dalam tanah, keluar kembali seperti ular besar bergulung-gulung, mencekam perasaan hati. Daun pohon-pohon besar meneduh lembab. Tak ada cahaya matahari yang sampai ke pundak mereka. Di tengah hutan belantara gelap itu sayup-sayup terdengar bunyian-bunyian seruling dan kecapi seperti sebuah pesta merayakan pengantin di zaman dulu. Terdengar pula tawa cekikikan kecil, seperti tawa gadis-gadis kecil yang bermain percikan air di tepi sungai.
     Mereka berempat saling pandang. Keseraman hutan Gunung Sireum terobat dengan bunyi musik klasik dan tawa kegelian gadis-gadis mungil itu. Terasa seperti telah berada di dalam pelukan mereka. Dada mereka bagai telah menganga, menyambut pelukan gumpalan-gumpalan daging empuk dada gadis remaja yang tiarap di pangkuan mereka dengan darah gemuruh.
     Sateh mempercepat langkahnya. Ia ingin duluan mengintip gadis-gadis yang mandi tidak berkain di dalam air. Alangkah mengasyikkan melihat kulit-kulit halus yang putih kuning di dalam air jernih. Ia ingin menerkam tubuh-tubuh itu, seperti melahap sepiring agar-agar merah yang memancing dahaga.
     Tetapi mereka tertahan di sebuah gerbang terdiri dari susunan pualam berbagai warna.
     "Itu dia orang tua yang mengundangku," ujar Sateh.
     "Dia juga yang menghubungiku," sambung Rudin
     "Memang dia yang datang kepadaku," sahut Garada pula.
     Sarman tidak perlu berkata lagi, karena memang orang tua berpakaian hitam itu juga yang menegurnya ketika ia sedang dirundung rugi besar akibat kiosnya terbakar.
     "Kedatangan cucu-cucu memang telah ditunggu", sambut lembut orang tua itu. Suara yang keluar dari mulutnya lebih besar dari bentuk tenggorokannya. Suara itu seperti bukan dari dirinya sendiri. Tetapi dari alam lain yang lebih tua dan hebat. Suara tawa kecil perempuan-perempuan tadi telah menguatkan hati mereka untuk melewati pintu gerbang. Mereka disuruh masuk ke dalam pintu-pintu seperti liang batu tersusun, yang di dalamnya terdengar bunyi gemercik air dari mulut pancuran kecil.
     Kegersangan perjalanan membuat mereka merasa seperti barisan tentara sewaan menempuh padang pasir. Mereka rindu air yang diteguk, rindu kulit wanita yang akan mereka lumat dengan pelukan-pelukan erat. Begitu masuk ke dalam pintu gerbang batu mereka disambut oleh pelukan-pelukan gadis tanpa pakaian. Bergumul mereka di atas rumput halus yang seperti permadani. Di sela-sela tawa cekikikan, palun berpalun dengan lenguh-lenguh napas yang terseret-seret panjang di tenggorokan. Tujuh hari mereka berempat tinggal di dalam kamar batu yang gelap, lengkap dengan makanan yang telah terhidang, bila mereka beristirahat menambah tenaga.
     Tujuh hari itu dibayar dengan tujuh tahun hidup ditunjang oleh alam gaib. Mereka telah meninggalkan air tulang sumsum mereka yang terhimpun di ujung tulang sulbi. Sama juga artinya mereka telah meninggalkan sejemput roh kehidupan mereka, yang pada suatu masa nanti akan mereka jemput sendiri ke tempat ini.
     Ketika mereka keluar dari kamar batu masing-masing, keadaan mereka sudah seperti binatang berkaki empat. Tak mampu berdiri, selain merangkak dengan persendian lemah dan tulang pinggang yang lunglai. Orang tua berbaju hitam dan bercelana gantung itu  melecut mereka dengan cemeti kulit ekor pari yang berduri. Cemeti itu terlihat seperti berlumur cairan kering yang merah kecoklatan, seperti darah kering. Mungkin sudah beratus orang terdahulu yang telah dilukai cemeti itu.
     "Ayoohhh, ... pergi, tunggulah di tempat-tempat yang disebutkan berikutnya, sampai waktu yang dijanjikan istri-istri kalian yang akan menjemput kalian!" hardik orang tua yang tiba-tiba berubah kasar dan buas itu. Mereka merangkak, sambil memekik-mekik diiringi bunyi cemeti seperti mercon yang mengeluarkan api. Melukai punggung dan tengkuk mereka yang tujuh hari yang lalu, bergelung di atas tubuh-tubuh wanita gaib yang menyerahkan tubuhnya. Pukulan cemeti, membuat dedaunan yang tersambar menjadi bertebaran. Sebagai gambaran pertama dari neraka alam marakayangan lain yang akan mereka tempuh di masa yang akan datang. Lutut mereka terkupas, punggung bilur-bilur pecah dihantam cemeti. Sesampainya di warung, mereka dapati warung itu tertutup, seperti tidak pernah didiami, dengan sarang laba-laba dan tanah sarang tawon yang berbuku-buku.
     "Sialan... ke mana pemilik warung tempat kita akan minta minum?" oceh Garada, kemudian mengopek darah yang mengering ditimpa panas pada lengan dan tengkuknya.
     "Mungkin dia tidak pernah ada, secara nyata," jawab Sateh.
     Sateh berdagang kayu bangunan. Yang dalam tempo setahun saja telah membuat ia menjadi orang kaya raya. Orang tidak mengetahui bagaimana caranya Sateh beruntung besar dalam usahanya. Sedangkan orang lain yang sama jenis usahanya dengan Sateh, beringsut menambah modal. Pada hari-hari tertentu, ada saja beberapa buah truk membongkar kayu ke gudang Sateh. Sateh tidak dapat banyak bertanya kepada supir truk, siapa yang mengirimkan kayu itu.
     "Aku hanya disuruh membongkar kayu ini di sini", jawab supir truk itu, "lain tidak." Kemudian truk utusan itu berlalu dengan cepat. Pengaruhnya, orang dikaburkan untuk memperhatikan nomor plat kendaraan itu, terlupa pula mencatat nama supirnya. Sehingga lama kelamaan Sateh menjadi biasa dengan keadaan itu. Dia tidak bertanya lagi menerima kiriman dari Gunung Sireum itu.
     Berlainan dengan Rudin pedagang kain. Ia sering disuruh seseorang yang berpesan, agar menunggu sesuatu di tepi jalan kecil di mulut hutan. Lalu meluncur saja sebuah pick-up penuh membawa tekstil. Berbagai corak dan rupa yang tergambar dalam rencana Rudin memperbesar usahanya.
     Garada termasuk orang yang paling beruntung. Karena pada hari-hari tertentu, ada saja orang membongkar bertruk-truk beras di muka tokonya. Sehingga ia mempunyai berpuluh cabang leveransir beras yang terkenal kaya raya. Sekali ia tertarik kepada seorang tua sederhana yang selalu duduk di bangku panjang halaman tokonya. Beberapa kali ia menyodorkan rokok kepada orang tua sederhana itu. Tetapi orang tua itu menolak dengan sopan, "Nantilah  bila aku telah ingin, baru aku meminta rokokmu."
     Jawaban itu bagai mengandung makna lain di lubuk hati Garada.
     "Tinggal beberapa tahun lagi waktumu," ujar orang tua itu bertanya dengan sinar mata lembut, penuh belas kasihan. Garada ragu-ragu untuk menjawab. Tetapi cahaya mata orang tua yang kelihatannya mengandung sinar mata seorang kyai itu mempengaruhi keteguhan hati Garada untuk menyimpan rahasia kekayaannya.
     "Kek ...,Kakek tahu dari mana keadaanku?" tanya Garada tergagap-gagap. Terdiam sejenak orang tua jauhari itu, kemudian menyahut, "Aku melihat keadaanmu seperti bunga yang sedang saat berkembang sempurna tetapi tak lama lagi akan gugur."
     Garada menarik tangan orang tua itu ke dalam kantornya. Hanya mereka berdua saja di tengah hari itu. Karena seluruh pegawai Garada sedang makan keluar.  Sejak Garada bersimpuh lutut mengadukan nasibnya yang akan datang kepada orang tua itu, Garada menjadi sering berkelakuan tidak biasa. Ia telah membuat sebuah mesjid besar, yang seluruh biayanya dari dirinya sendiri. Se-tiap malam Jumat, ia mengundang para santri dan anak yatim piatu, untuk membaca Al Quran dan menerima sedekah dari tangannya. Kemudian dia sering mengundang beberapa Ajengan untuk memberi ceramah agama di rumahnya, dan mengundang seluruh pemuka masyarakat.
      Ketika istri gaib Sarman datang menjemput, pada saat yang sama Garada didatangi putri dari puncak Gunung Sireum Bandung Selatan. Sungguhpun Garada jauh berada di Sukabumi. Pada malam itu juga utusan itu mendatangi Garada. Ditandai dari anjing yang melolong panjang ketika menjelang tengah malam. Derap langkah kaki kuda itu sampai juga. Tetapi jauh dari rumahnya. Diiringi oleh ratap halus perempuan seperti kematian anak.
      "Garada .. Garada ... mengapa suamiku mungkir janji?" Suara itu halus membelah malam dengan lirih dan seram. Garada berharap tak seorang pun yang akan mengetahui penjemputan itu. Sebelumnya Garada telah mengundang 19 orang anak yatim piatu dari salah satu yayasan. Garada berlari ke sebelah rumah menuju musola. Lalu membangunkan seluruh anak yatim piatu yang menginap di situ.
     Tak lama kemudian terdengarlah dengung anak-anak di bawah umur membaca Kitab Suci. Dan suara tangis perempuan di luar rumah semakin pilu dan kesakitan. Sedangkan Garada sendiri duduk menghadapkan diri dengan posisi tersendiri, menghunjamkan ujung alip ke dalam bumi dengan keempat anggota badannya terpentang ke halaman rumah.
     Akhirnya terdengar suara seperti letusan knalpot mobil yang tersumbat meledak di halaman rumahnya. Mengepul, dengan rupa asap berbentuk puting beliung seperti gasing besar. Gemuruh kembali menuju arah Gunung Sireum. Batallah penjemputan, dan terhapuslah nama Garada di Gunung Sireum, selama ia tidak lengah memilih jalan bertobat dari mensekutukan Allah pada waktu yang lalu.
     Tetapi hanya Allah pulalah yang akan menilai apa yang dilakukan hamba-Nya, di muka bumi. Sungguhpun Garada telah terlepas dari perjanjian dengan makhluk gaib yang menolong kehidupannya selama ini.
     Di kamar batu di puncak Gunung Sireum, tergeletak berserakan sejemput debu hitam yang telah menjadi arang, berbau amis. Dan orang tua memegang cemeti itu terus-menerus memukuli Sarman ... bertubi-tubi. Karena melepaskan amarah kepada Garada yang terlepas dari penjara alam gaib sampai menunggu waktu kiamat. Cemeti bergetar ... diiringi lengkingan pekik Sarman.

Mpu Wesi Geni
Senang 00531 thn 1982
Baca selengkapnya »

Jalan Terakhir

     Sudah lama Dolah bermaksud untuk berumah tangga dan sudah enam orang pula gadis yang dilamarnya. Namun hasilnya selalu sama, tak seorang pun di antara mereka yang mau menerima lamarannya. Alasan mereka bermacam-macam. Ada yang mengatakan belum mau berumah tangga, dan ada pula yang mengatakan mau mengaji dulu sampai tamat. Bahkan ada juga yang menolak lamarannya secara terus terang.
     Meskipun gadis-gadis yang dilamarnya memberikan alasan bermacam-macam, ia tahu gadis-gadis itu tidak menyukainya. Seperti Latifah, anak Toke Ali, ia mengatakan belum bersedia berumah tangga karena mau mengaji dulu sampai tamat. Tetapi ketika Hasbi, anak Haji Sulaiman melamarnya, gadis berkulit sawo matang itu tidak memberikan alasan apa-apa dan mau diperistri pemuda alim itu. Begitu juga dengan lima orang gadis lain yang pernah dilamar olehnya, sekarang semuanya sudah bersuami.
     Walaupun keenam gadis itu menolak lamarannya, ia tidak merasa kecewa dan sakit hati. la berpendapat, sesuatu tak mungkin akan terjadi bila Yang Mahaesa tidak menghendakinya. Demikian pula masalah jodoh, hanya Allah yang menentukannya, sedangkan manusia hanya bisa berusaha. Demikianlah pikiran yang terlintas di benaknya setiap kali ia gagal melamar seorang gadis, sehingga ia tidak merasa kecewa dan sakit hati kepada gadis-gadis itu. Di samping berpikir demikian, ia mempunyai sifat yang jarang dimiliki oleh pemuda-pemuda lain.
     Biasanya seorang pemuda yang sudah beberapa kali gagal melamar seorang gadis, maka semangatnya akan mengendur dan merasa malu kepada kawan-kawannya. Tetapi Dolah tidak. la tidak merasa kecewa dan semangatnya tidak patah, meskipun sudah enam kali mengalami kegagalan. Bahkan setelah gadis pertama menolak lamarannya, ia melamar lagi gadis lain yang lebih dari gadis itu, baik dari segi kecantikan wajahnya, maupun kekayaan orang tuanya. Memang gadis-gadis yang demikianlah yang selalu menjadi pilihannya. Ia tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang pemuda yang tidak pantas beristrikan wanita tingkat tinggi. Bayangkan, sudah wajahnya tidak tampan, pakaiannya kusut-masai, sekolahnya tidak tamat SD, malas lagi. Tetapi kini ia melamar lagi gadis yang ketujuh. Pilihannya kali ini jatuh pada Nurhayati, anak tunggal Haji Ismail yang juga kepala kampung di kampung itu.
     Mendengar yang disuruh lamar olehnya adalah Nurhayati, maka Peutua Bidin yang dikenal di kampung itu sebagai teulangke (penghubung dalam masalah pinang-meminang di geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir, mengapa orang seperti Dolah berani menyuruh lamar Nurhayati sebagai calon istrinya. Tetapi ia yakin, Haji Ismail pasti tak akan sudi menerima Dolah sebagai menantunya. Bahkan orang yang tak banyak bicara itu akan merasa tersinggung dan sakit hati kepada teulangke yang melamar anak gadisnya untuk pemuda malas itu. Oleh karena itu Peutua Bidin tak berani menyampaikan maksud Dolah kepada Haji Ismail.
     Ia takut akan dilabrak oleh Haji Ismail bila melamar Nurhayati untuk Dolah. Dan ia takut pula hubungannya yang begitu baik dengan Haji Ismail akan retak, bila orang seperti Dolah yang dibawakannya sebagai calon suami Nurhayati.
     Teringat akan hal-hal itu, maka Peutua Bidin tetap pada pendiriannya, tak mau membantu Dolah kali ini. Tetapi demi menjaga supaya anak muda itu tidak tersinggung, maka ia tidak mengutarakan hal itu kepada Dolah. Dan ia memberikan alasan kepada anak muda itu.
     "Begini, Dolah" kata Peutua Bidin, "bukan aku tidak mau melamar Nurhayati untukmu. Tetapi ketahuilah, aku tidak boleh melakukan pekerjaan yang sama untuk orang yang sama pula, bila sudah enam kali mengalami kegagalan. Kalau aku melakukannya juga, maka arwah orang tuaku akan marah dan sesuatu yang tidak kuharapkan akan menimpa diriku."
     "Jadi Bapak tidak mau melamar Nurhayati untukku, bukan?" tanya Dolah.
     "Bukan aku tidak mau, Dolah. Tetapi begitulah pesan ayahku ketika beliau masih hidup. Bukankah sudah enam kali aku membantumu?"
     Dolah menganggukkan kepalanya, "Jadi, siapa lagi yang bisa melakukannya, Pak?"
     "Suruh saja si Amin! Kukira ia sanggup juga melakukannya."
     "Tetapi ia masih muda, Pak," potong Dolah cepat.
     "Itu tidak menjadi masalah, Dolah. Yang penting orangnya jujur dan bijaksana:"
     "Bapak kira, bersediakah si Nur itu menjadi istriku?"
     "Belum tentu tidak, Dolah. Yang penting kau melamarnya dulu. Kalau ia mau, kau beruntung. Tetapi jika ia tidak mau, kau tidak akan merasa rugi, bukan?"
     Dolah mengangguk lagi dan menyalami Peutua Bidin. "Terima kasih, Pak," ucapnya. Kemudian ia pun meninggalkan orang tua itu dan pergi ke rumah Amin.
     Keesokan harinya ia betul-betul merasa kecewa. Bukan karena lamarannya ditolak, sebab hal itu sudah merupakan biasa baginya. Tetapi karena Nurhayati bukan saja menolak lamarannya, bahkan menghinanya pula. Gadis itu mengatakan terus terang kepada Amin, ia tidak mau menerima seorang pemalas sebagai suaminya.
     Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, betapa kesal dan kecewanya Dolah dihina begitu oleh Nurhayati. Namun entah mengapa , ia tidak merasa sakit hati kepada gadis yang telah menghinanya. Malahan masih juga ia mengharapkan agar Nurhayati sudi menjadi istrinya. Dan wajah Nurhayati selalu mengganggu tidurnya, sehingga sulit rasanya melupakan gadis itu. Tetapi apakah dayanya? Dolah bertepuk sebelah tangan.
     Tiga bulan telah berlalu, tetapi Dolah belum juga berumah tangga. Begitu juga Nurhayati, ia belum bersuami. Namun bukan karena tidak ada pemuda yang datang melamarnya. Sungguh banyak pemuda yang telah mencoba untuk mendapatkan cinta gadis tinggi langsing itu, tetapi belum ada seorang pun di antara mereka yang berkenan di hatinya.
     Mengetahui Nurhayati belum bersuami juga, maka diam-diam Dolah menyusun sebuah rencana untuk menggaet gadis itu. Entah mengapa, baru sekarang ia teringat pada Pawang Leman, seorang kampung seberang. Padahal ia kenal betul kepada orang yang bisa membuat seorang wanita mencintai laki-laki yang paling dibencinya. Teringat kepada orang tua itu, ia bersiul-siul kecil tanda gembira. Betapa tidak, dengan bantuan orang tua itu ia akan berhasil memperoleh cinta dari gadis yang paling dikaguminya. Dan tanpa menunggu esok hari, ia segera pergi ke kampung seberang untuk menjumpai Pawang Leman. Tetapi Dolah merasa kecewa karena orang yang memiliki "ilmu pekasih" itu sedang tidak berada di rumahnya. Menurut keterangan istrinya, sudah tiga minggu Pawang Leman tidak pulang ke rumahnya. Tetapi Dolah tidak memper¬oleh keterangan ke mana Pawang Leman pergi dan kapan pulangnya. Memang demikianlah sifat Pawang Leman, tidak mau memberitahukan kepada siapa pun ke mana ia pergi dan kapan ia pulang.
     Suatu sore Dolah sedang berada di semak-semak kecil, tidak begitu jauh dari rumahnya. Saat itu ia sedang mengintai sepasang tupai yang berkejar-kejaran di sebatang pohon kayu besar. Tetapi ia belum juga menembakkan anak panahnya, karena binatang pengerat itu terus berkejar-kejaran. Maka Dolah berjalan niengendap-endap, sambil matanya tidak berkedip mengikuti ke mana pun tupai itu berlari.
     "Asyik sekali tampaknya, ada apa, Dolah?" tiba-tiba sebuah suara menegurnya.
     Dolah tersentak dan menoleh ke arah datangnya suara itu.
     "Ah, Pawang, Kupikir setan yang menegurku tadi," katanya, "Dari mana, Pawang?"
     "Dari jauh," jawab orang tua 'itu, "Kau sedang apa?"
     "Memburu tupai. Aku sedang kesal, Pawang."
     "Mengapa?"
     "Gara-gara si Nur anak Haji Ismail, Pawang."
     "Ada apa dengannya?"
     "Ia menolak lamaranku" "Ah...cari saja gadis lain... mengapa?"
     "Tidak bisa, Pawang. Aku, mencintainya."
     "Usahakan untuk melupakannya!"
     ”Tak mungkin, Pawang. Karena ia telah menghinaku pula dengan mengatakan aku ini pemalas." .
     "Jadi kau tidak merasa sakit hati dikatakan begitu?" tanya Pawang Leman dengan nada heran.
     "Tidak, Pawang. Bahkan karena penghinaan itulah, maka niatku untuk memperoleh cintanya semakin bertam¬bah besar pula."
     Mendengar penjelasan Dolah, Pawang Leman semakin heran. la tak habis mengerti, mengapa sifat anak muda itu lain dari yang lain.
     "Tetapi mana mungkin lagi kau memperoleh cintanya, Dolah? Bukankah ia sudah jelas menolak lamaranmu?" katanya kemudian.
     Dolah menarik napas dalam-dalam dan menatap wajah orang tua itu lamat-lamat.
     Ya, Dolah. Tak mungkin lagi kau akan mendapatkan cinta dari gadis itu," kata Pawang Leman lagi
     "Tetapi Pawang mau membantuku, bukan? "tanya Dolah.
     Orang tua itu tersenyum, "Dengan cara memakai ilmu pekasih?" tanyanya.
     Dolah mengangguk.
     "Percuma, Dolah. Karena kalau besok aku mati, maka ia akan membencimu kembali lebih dari yang sudah-sudah. Bahkan ia akan meracunimu. Kau tidak mengharapkan yang demikian akan terjadi, bukan?"
     Dolah mengangguk lagi, "Jadi tidak ada yang bisa kekal untuk selama-lamanya, Pawang?"
     "Ada juga. Yaitu dengan cara kau mengamalkan ilmu pekasih itu."
     "Berikan kepadaku, Pawang!" kata Dolah girang.
     "Tetapi syaratnya sangat berat. Kurasa kau tak akan sanggup memperoleh ilmu ini, Dolah."
     "Berapa harganya? Aku bersedia membelinya, Pawang."
     "Bukan soal uang, Dolah. Tetapi syaratnya yang membuat kau tak akan berani untuk mendapatkan ilmu yang satu ini," kata Pawang Leman menjelaskan, "Kalau harganya satu mayam emas sudah cukup."
     "Syarat-syaratnya apa saja, Pawang?"
     Orang tua itu menatap tajam ke mata Dolah, seakan-akan ingin menilai sampai di mana keberanian anak muda itu. Kemudian ia berkata, "Pertama kau harus memberikan kepadaku satu mayam emas sebagai uang kehormatan. Syarat kedua kau harus dapat menghapal di luar kepala semua mantra yang kuajarkan kepadamu. Yang ketiga kau tidak boleh memakai ilmu ini untuk tujuan yang tidak baik. Misalnya untuk tujuan memerkosa anak gadis orang, ataupun setelah kau mengawininya kemudian kauceraikan. Dan bila kau melakukan kedua hal ini, maka kau tak akan sanggup lagi menggauli wanita. Kurasa ini tidak berat," kata Pawang Leman sambil menyulut rokok daunnya.
     "Syarat apa yang berat, Pawang?" tanya Dolah tak sabar.
     "Yang berat adalah syarat keempat, yakni kau harus berani berada seorang diri di lereng bukit, di tengah malam buta dan tidak boleh ada sehelai benang pun yang melekat di tubuhmu."
     "Kalau berani melakukannya, berarti Nurhayati akan mencintaiku?"
     "Insya Allah. Tetapi kau harus berani pula melawan siapa saja yang datang kepadamu waktu melakukan syarat keempat ini."
     "Siapa-siapa saja yang datang, Pawang?" tanya Dolah ingin tahu.
     "Bermacam-macam, Dolah. Ada yang menyerupai harimau, buaya dan ular besar. Tetapi bila kau berani melawannya, maka ia akan memberi hormat kepadamu dan mengabulkan apa yang kauinginkan."
     Dolah mengangguk-anggukkan kepalanya. Timbul rasa takutnya membayangkan binatang buas itu. Tetapi begitu teringat kepada Nurhayati, ia bertekad juga untuk memperoleh ilmu pekasih itu dari Pawang Leman. Maka ia pun bertanya lagi, "Ada syarat-syaratnya yang lain, Pawang?"
     Pawang Leman menatap ke wajah Dolah, "Kau berani melakukannya?" Dolah mengangguk lagi.
     "Betul, Dolah?" tanya Pawang Leman lagi karena kurang yakin.
     "Betul, Pawang. Demi Nurhayati aku berani melakukan apa saja."
     Pawang Leman menepuk bahu anak muda itu, "Baiklah, Dolah. Aku mau memberikan ilmu ini kepadamu. Tetapi ingat, jangan kaupergunakan untuk tujuan yang tidak baik, ya?"
     Dolah mengangguk lagi. Kemudian ia menatap wajah Pawang Leman, ingin mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari orang tua itu.
     "Begini, Dolah," Pawang Leman melanjutkan, "Kau harus bersemadi di tengah malam sunyi tujuh malam berturut-turut, dan tidak boleh ada sehelai benang pun yang melekat di tubuhmu. Dalam semadi itu kau harus membaca berulang-ulang empat puluh empat kali mantra yang akan kuajarkan kepadamu. Pada malam pertama sampai malam keenam, memang tidak datang apa-apa dalarn semadimu. Tetapi pada malam ketujuh, datanglah godaan-godaan yang mengerikan. Namun kau tak perlu takut dan harus melawan godaan itu. Dan jika kau tidak berhasil melawannya, berarti kau tak akan berhasil pula mendapatkan Nurhayati."
     "Tetapi jika aku tidak berhasil melawan godaan itu, aku tidak akan apa-apa, bukan?" Dolah bertanya agak ragu-ragu.
     Pawang Leman tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan anak muda itu, sehingga kelihatan gigi-giginya yang benvarna kekuning-kuningan.
     Lalu ia berkata, "Memang kau tidak akan apa-apa, Dolah. Tetapi kau jangan harap mendapatkan cinta Nurhayati, bila hal yang demikian sampai terjadi." Dolah kembali mengangguk-angguklcan kepalanya, "Tetapi bagaimana, Pawang? Sekarang aku tidak mempunyai uang." Orang tua itu tersenyum, "Itu tidak mengapa, Dolah. Yang penting kau harus segera melakukan semadimu. Sebab, siapa tahu dalam beberapa hari yang akan datang ini Nurhayati menerima seorang pemuda lain. Soal emas itu nanti saja kau tunaikan."
     Dolah menyalami Pawang Leman, "Terima kasih, Pawang."
     "Terima kasih kembali, Dolah. Datanglah ke rumahku nanti malam, ya? Aku akan mengajarkan mantra-mantra tersebut kepadamu."
     “Ya, Pawang. Aku akan datang nanti selepas sembahyang isya."
     "Jangan ada orang lain yang mengetahuinya, ya?" pesan Pawang Leman sambil melangkah pulang ke rumahnya.

 * * *
     Suatu tengah malam dua minggu sesudah itu, hujan turun agak lebat, sedangkan angin bertiup tidak menentu. Kadang-kadang sepoi-sepoi basah dan kadangkala agak kencang, membuat Dolah yang sedang bersemadi seorang diri di lereng bukit di desa Sarah Panyang menjadi basah kuyup dan kedinginan, sehingga timbul niatnya untuk tidak meneruskan semadinya itu. Namun ketika teringat semadinya itu adalah malam yang ketujuh, maka ia tidak beranjak dari situ dan terus membacakan mantra berkali-kali, sambil matanya tidak berkedip memandang di kegelapan malam.
     Tiba-tiba pemandangan di depannya menjadi terang benderang, bagai ada seberkas cahaya yang meneranginya. Tiba-tiba pula ia melihat di depannya ada seekor buaya raksasa sedang merangkak ke arahnya. Anehnya buaya itu tidak seperti buaya biasa. Moncongnya runcing bagai tombak dan bercabang tiga. Di seluruh badannya tumbuh pula bulu-bulu runcing seperti bulu landak, sehingga membuat Dolah bergidik melihatnya. Namun ia tidak beranjak dari semadinya dan sudah siap pula untuk bergumul dengan binatang itu.
     Ketika buaya itu sudah dekat sekali dengannya, secepat kilat ia menerjang, sehingga binatang itu mengerang kesakitan.
     "Jangan bunuh aku, Tuan," katanya dengan suara mengiba. "Aku akan mengabulkan apa yang Tuan cita-citakan."
     "Baik. Aku tak akan membunuhmu. Tetapi kau harus menyuruh si Nurhayati anak Haji Ismail supaya ia mencintaiku!" bentak Dolah.
     "Baik, Tuan. Sekarang pun gadis itu sudah mencintaimu," kata buaya itu sambil menunduk, memberi hormat kepada Dolah. Kemudian binatang itu pun hilang dari pandangannya.
     Hujan sudah reda dan ia hendak beranjak dari situ, karena berpikir pekerjaannya sudah selesai. Tetapi tiba-tiba pula di depannya sudah berdiri seekor harimau sambil mengaum-aum. Ia jelas melihat, kepala harimau itu berwarna putih, sedangkan seluruh badannya belang-belang seperti harimau biasa. Dari kedua matanya keluar dua berkas cahaya menyorot ke arahnya, sehingga matanya menjadi silau. Tiba-tiba secepat kilat harimau itu melompat ke arahnya. Namun secepat itu pula Dolah menerjangnya, sehingga "raja hutan" itu jatuh tersungkur dan mengaduh kesakitan.
     "Jangan bunuh aku, Tuan. Aku akan memenuhi apa yang Tuan inginkan," katanya kemudian setelah ia bangkit kembali.
     "Baik. Aku tak akan membunuhmu. Tetapi syaratnya kau harus menyuruh si Nurhayati anak Haji Ismail supaya ia mencintaiku," kata Dolah seraya mengacung-acungkan tinjunya ke muka harimau itu.
     "Baik, Tuan. Sekarang pun ia sudah mencintaimu," kata harimau itu sambil memberi hormat kepada Dolah. Binatang itu pun lalu menghilang.
     Perasaan anak muda itu menjadi lega karena sudah dua kali ia berhasil menundukkan binatang buas yang menyerangnya. Sekarang apa lagi yang akan muncul? Tanyanya dalam hati sambil matanya menatap lurus ke depan.
     Tiba-tiba seekor naga bagai keluar dari dalam tanah sudah muncul di depannya. Tanpa mengulur-ulur waktu, Dolah langsung menerjangnya. Tetapi aneh, binatang itu tidak apa-apa. Bahkan naga itu tertawa, bagai tawa seorang gadis, sehingga ia penasaran, tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Sedangkan ular besar itu terus saja tertawa dan matanya yang sayu menatap mata Dolah, sehingga anak muda itu bertambah penasaran. Tetapi tiba-tiba setengah tidak sadar ia membelai punggung naga itu. Namun apa yang terjadi? Naga itu berubah bentuk menyerupai seorang gadis dan merangkulnya pula.
     "Ayo kita pulang, Bang!" pinta gadis itu sambil mengelus-elus punggung Dolah. Tetapi kemudian gadis itu hilang kembali dari pandangan Dolah. Bersamaan dengan itu, keadaan di sekelilingnya menjadi gelap kembali. Dolah sudah mengenakan pakaiannya dan sudah berdiri pula untuk melangkah pulang. Tetapi tanpa disangka-sangka dari semula, seekor ular sebesar lengan sudah melilit di tubuhnya. Mula-mula ia tidak mengira bahwa yang meliliti tubuhnya adalah benar-benar seekor ular biasa. Tetapi ketika dirasanya lilitan itu kian lama kian mengetat, maka ia berusaha melepaskannya sambil berteriak-teriak meminta tolong, sedangkan ular itu semakin mengetatkan lilitannya seraya mematuk-matuk. Untunglah Dolah telah diberi kekebalan oleh Pawang Leman. Kalau tidak, ia akan pingsan terkena bisa ular itu.
     Sudah beberapa lama Dolah bergumul dengan ular itu, sambil berusaha melepaskan lilitannya. Tetapi ular itu semakin ganas dan semakin ketat melilit tubuhnya, sehingga ia semakin susah untuk bernapas. Akhirnya ia dapat menangkap kepala ular itu dan mencekik lehernya kuat-kuat. Ular itu mengendurkan lilitannya. Pada kesempatan itulah Dolah menyelusupkan tangan kirinya antara badannya dan lilitan ular. Namun demikian, ia tidak berhasil juga melepaskan ular itu dari badannya. Maka ia menjerit-jerit meminta tolong dan berlari ke kampungnya.
     Ia sudah sampai di kampungnya dan hari sudah subuh. Ia terus berteriak-teriak meminta tolong, membuat penduduk kampung itu keheranan. Namun tidak seorang pun yang berani keluar dari rumahnya. Sedangkan Dolah terus saja berlari dan menjerit-jerit, dan sudah sampai pula di jalan kecil di depan rumah Haji Ismail.
     Mendengar jeritan meminta tolong itu, Haji Ismail yang sedang berzikir sesudah sembahyang subuh itu, cepat-cepat mengambil senter dan parang panjang, kemudian bergegas pergi ke arah orang meminta tolong itu.
     Melihat ada cahaya senter, Dolah semakin memperkeras jeritannya dan berlari ke arah orang yang memegang senter itu.
     "Tolong, Pak. Tolooong!!" teriaknya sekuat tenaga.
     Haji Ismail mengenal suara itu,
     "Mengapa kau, Dolah?" tanyanya setengah berteriak pula.
     "Tolong lepaskan aku, Pak!" teriak Dolah lagi.
     Haji Ismail sudah sampai di dekat anak muda itu dan menyorotkan cahaya senter ke arahnya.
     "Apa yang harus kulepaskan, Dolah?"
     "Tolong lepaskan ular yang melilit di tubuhku."
     "Apa kau bermimpi, Dolah?" tanya Haji Ismail sambil tertawa. "Tak ada ular yang meliliti tubuhmu."
     Dolah melihat ke tubuhnya sendiri. Memang tidak ada ular yang melilit, sehingga ia merasa malu pada Haji Ismail.
     "Apa yang telah terjadi, Bang Dolah? Sehingga kau berteriak-teriak dan seluruh tubuhmu mengucurkan keringat?" tanya Nurhayati yang tiba-tiba sudah berada di situ.
     Dolah tidak menjawab dan menatap tajam ke wajah gadis itu. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa kali ini Nurhayati memanggil kepadanya dengan sebutan Bang Dolah. Oh, betapa bahagia hatinya mendengar panggilan begitu. Karena biasanya Nurhayati memanggilnya dengan sebutan "polem" Dolah, suatu panggilan yang dianggap kurang hormat oleh anak-anak muda di Aceh.
     Keadaan hening beberapa saat karena tidak ada di antara mereka yang berbicara. Masing-masing diam membisu, seperti ada yang sedang dipikirkan. Tetapi entah apa, tak ada yang tahu.
     Tiba-tiba Dolah tersentak karena ia diajak oleh Haji Ismail untuk singgah dulu ke rumahnya. Mendengar ajakan itu, ia menjadi heran karena belum pernah Haji Ismail begitu baik kepadanya.
     "Ya, Bang. Mari singgah dulu di rumah kami! Lupakanlah apa yang telah terjadi antara kita, dan maafkanlah semua kesalahanku," kata Nurhayati menimpali.
     Dolah terpana, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun mendengar pernyataan dari gadis yang dicintainya. Tetapi hatinya merasa nyaman bagai dibelai angin surga.
     "Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, Pawang Leman," katanya dalam hati sambil mengikuti langkah Nurhayati dari belakang.
     Sebenarnyalah, kuasa Tuhan juga yang menjodohkan mereka melalui kepandaian Pawang Leman.
Baca selengkapnya »

Mengejar Batas Kematian Alam Gaib

     Rahasia alam gaib merupakan suatu misteri yang sampai saat ini masih belum dapat dipecahkan. Siapa yang kuasa emngungkapkannya? Sebab manusia sendiri cuma sampai pada batas kesimpulan. Alam gaib adalah jagad raya semu yang tak terjangkau oleh akal pikiran manusia biasa. Angin-Udara-Air-Tanah adalah empat pokok kehidupan.
     Angin yang bisa dirasa, didengar tetapi tak dapat dipegang dan dilihat. Angin yang sejuk berembus, kadang berubah menjadi badai topan yang maha dahsyat. Sedang udara adalah pernafasan kehidupan. Sifatnya tetap, tidak berubah.
     Unsur air sifatnya mengikuti keadaan. Dimana ada tempat yang rendah, di situlah dia mengalir. Bentuknya luwes sehingga dapat menyesuaikan dirinya dengan alam lingkungannya.
     Dan unsur yang terakhir, yang merupakan inti kehidupan manusia adalah tanah. Ya, tanah!
     Pernahkan Anda berfikir suatu saat nanti Anda akan mati kemudian kembali menjadi tanah lagi? Manusia pertama justru dijadikan oleh Tuhan dari tanah liat yang kemudian ditiupkan roh. Oleh sebab itu manusia harus selalu ingat tentang asa;-usulnya semula. Tanah yang setiap hari dinjak-injak, kadang dikencingi, diludahi, tetapi dia tak pernah protes kepada kita. Walau bagaimanapun juga tanah akan tetap kembali menjadi tanah.
     Pernahkan Anda memikirkan suatu misteri alam gaib akan dapat terbuka oleh ketinggian akal budi manusia, entah pada abad dan peradaban yang akan datang? Jawaban Alif Lam Mim hanya Tuhan yang mengetahui.
     Tapi pernahkan Anda mendengar tentang kematian seseorang yang tidak mau bersatu dengan tanah lagi? Sedang mayat yang dibakar kemudian abunya dilarutkan ke dalam larutan masih ingin kembali bersatu dengan tanah di dasar laut. Memang ada suatu adat yang mengajarkan kepada anak cucu keturunannya, bila mati abu mayatnya jangan dikubur di dalam tanah atau dibuang ke laut. Namun harus digantung di udara. Di tempat yang tersmbunyi. Inilah yang akan saya ceritakan kepada Anda, tentang suatu rahasia salah satu dari ilmu-ilmu alam gaib itu.

     Gerimis pagi yang menampar wajah kakek tua renta itu membuat tubuhnya menggigi. Berkali-kali ia mengeluh, merapatkan kedua tangannya mendekap dadanya yang kerempeng. Seolah-olah perjalanan itu terlalu berat bagi laki-laki tua seusianya. Sesekali ia harus berhenti untuk menenangkan pikirannya. Hatinya masih berdebar-debar ketakutan, setiap kali ingat bayangan-bayangan peristiwa awal dari kesengsaraannya sekarang ini.
     Dua minggu yang lalu, ketika ia sedang tidur nyenyak mendadak satu suara menyeramkan membuatnya terbangaun dengan wajah pucat. Suara seram itu bergaung di dalam kamarnya, melingkar-lingkar tak putus-putusnya. Telinganya sampai terasa sakit.
     "Hhrrr...goghgh..Sogthot..."
     Kemudain jendela dan pintu kamarnya terbuka dengan keras seprti didorong oleh tenaga dahsyat dari luar. Dan angin menerobos masuk memorak-porandakan perabotan rumahnya. Semakin lama suara angin yang masuk itu terdengar semakin mencicit menyeramkan. Dinding kamarnya bergetar hebat dan tempat tidurnya bergoyang-goyang, sementara meja kursi bergelimpangan di lantai bercampur kertas-kertas yang berhamburan. Akhirnya ia menjerit ketakutan. Sesosok tubuh mengerikan tiba-tiba muncul di hadapatannya. Makhluk dari 'planet lain' itu menatapnya dengan bengis.
     "Aku telah datang. Mengapa kau mengundangku?" Kakek tua renta itu menjadi kebingungan mendapat pertanyaan yang aneh. Mengundangnya? Aku? Sampai lama ia tidak menjawab, cuma bibirnya saja yang tetap bergetar seperti diserang demam.
     "Hghhrr... apa yang kau inginkan, manusia?" dengus makhluk itu mengagetkannya dari lamunannya. Dan dengan terputus-putus kakek itu menjawab, "Aku..aku.. ingin memasuki roh alam gaib.."
     "Hhrrgh... tahukah kau bahwa hal itu sangat mustahil dan mengingkari kodrat yang sudah dijatuhkan kepada manusia?"
     "Aku tahu.. tapi.. tapi keinginanku untuk mengetahui segala rahasia alam gaib sungguh sangat besar.."
     "Ghoghh..shogghtt.. Kau telah bertahun-tahun menekuni dunia mistik dan alam gaib. Umurmu kau habiskan hanya untuk mempelajari ilmu-ilmu kebatinan kelas tinggi. Apakah kau tidak menyesal, jika keinginanmu itu kupenuhi tetapi dengan syarat yang berat sekali? Otakmu yang kotor itu memang pantas menjadi pengikutku yang setia, he manusia."
     "Aku..aku berjanji akan memenuhi segala syarat yang akan kau tentukan, asal keinginanku itu terkabul.."
     "Hhhrrghhh..Baik, aku percaya dengan janjimu. Besok purnama penuh, kau harus datang ke puncak Mahameru. Carilah sebuah kawah yang berwarna merah dan kelabu. Di sana kau bisa melaksanakan rencana-rencanamu yang ingin menguasai jagad." Tiba-tiba makhluk mengerikan itu mengeluarkan seribu pekikan yang menggetarkan jantung. Dari atas langit kemudian terdengar nyanyian-nyanyian seram sebagai jawaban. Dan lenyaplah makhluk itu dengan meninggalkan bau busuk.
     Kakek tua renta yang selama hidupnya tekun mempelajari ilmu-ilmu kebatinan kelas tinggi itu kini berdiri terlongong-longong. Akhirnya dia cepat-cepat mempersiapkan segala keperluan untuk mendaki puncak Gunung Mahameru. Malam itu juga dia membuat ramuan mantra di atas tungku api, Dan membalik-balik buku kuno yang berisi tintunan ilmu-ilmu sesat, membuat percobaan-percobaan aneh dan melakukan meditasi tertutup sampai menjelang subuh.
     Puncak Mahameru tampak berselimutkan kabut tebal. Hawa dingin luar biasa, kesepian, kesunyian, keseraman dan sendiri dalam perjalanan di malam purnama penuh, kakek tua renta itu sudah basah kuyup oleh gerimis yang terus mengerus tak henti-hentinya itu.
     Dengan susah payah akhirnya dia berhasil mencapat puncak.
     Waktu itu hampir tengah malam. Bulan yang bersinar bundar di atas menaburkan cahayanya sampai ke bibir jurang di sekitarnya namun kawah yang sedang dicarinya itu masih belum juga ditemukan.
     Tiba-tiba alam sekitarnya menjadi gelap. Dengan kaget kakek itu memandang ke langit. Ya, Tuhan.. matanya terbelalak melihat seeokor burung elang yang besar terbang rendah menutupi rembulan. Dan di atas punggung burung raksasa itu duduk seorang berjubah merah. Sebentar saja burung elang itu sudah menghilang di balik kabut sebelah sana. Si Kakek masih termangu-mangu tekjub, tetapi segera sadar dan cepat mengejar. Berkali-kali dia jatuh bangun menuruni lereng yang terjal penuh jurang menganga seram.
      Sementara gerimis masih tetap turun. Aneh memang, di waktu cuaca begini, bulan masih tetap bersinar. Kakek itu berhenti di depan sebuah kawah yang gelap menyeramkan. Sinar bulan tidak mampu menerangi dasar kawah. Yang tampak cuma kegelapan yang menggila. Dan bau busuk yag luar biasa dari lubang itu. Beberapa saat kemudian, dari dasar kawah itu terdengar suara menggelegak bergemuruh seprti akan memuntahkan lahar. Tanah yang dipijak juga ikut bergetar hebat.
     "Rrrrr..." suara menyeramkan itu kembali terdengar. Dari kegelapan lalu muncul seberkas cahaya merah darah dan perlahan-lahan tampak kabut berwarna kelabu.. Ya, itulah kawah yang dicari-cari itu.
     Dengan hati-hati ia menuruni kawah itu. Baru beberapa langkah, tubuhnya sudah terhuyung-huyung, perutnya terasa mual mau muntahkarena tidak tahan bau busuk yang semakin keras. Sambil merangkak dia mencoba melihat keadaan di bawah sana. Tetapi kabut yang tebal menghalangi pandangannya. Mendadak tanah yang dipijak longsor dan dengan menjerit ngeri tubuhnya terbanting ke bawah..
     "A a a ..." Kakek itu menjadi panik, di tengah udara di saat tubuhnya masih melayang, dia mencoba memegang apa saja yang sekiranya dapat menghentikan luncuran tubuhnya. Namun usahanya itu sia-sia. Dan dengan suara keras tubuhnya jatuh di tengah-tengah kawah. Byurr.. hampir tak percaya dia masih hidup.
     Ternyata di dasar kawah yang dari atas terlihat mengerikan itu, merupakan danau kecil berair panas. Tubuhnya menggeliat-geliat kesakitan. Untung dia pandai berenang, sehingga dengan susah payah akhirnya berhasil ke tepi kawah dengan selamat. Napasnya masih memburu tegang. Waktu dia memperhatikan dengan seksama, ternyata di tengah-tengah danau kawah itu terdapat sebuah batu bundar yang mengeluarkan sinar merah mencorong.
     Tetapi ketika dia akan memasuki sebuah gua di belakang cadas, mendadak matanya terbelalak memandang tulisan di dinding gua sebelah luar. Alangkah dahsyatnya tenaga orang yang mampu menggores batu dengan ujung jari. Tulisan itu berbunyi mengancam:

"Kepandaian sejati bukan untuk menguasai jagad. 
Terkutuklah bagi yang ingkar pada kodratnya dan 
siksa akan menikam di jantungmu sebelum kau menyesali 
perbuatanmu yang berlumur dosa."
     Kakek itu termenung, pikirannya seketika menjadi bingung. Siapa yang menulis peringatan di dinding gua itu? Apakah dia sudah tahu tentang tujuanku datang kemari? Namun bila ingat pesan makhluk dari planet lain yang dipujanya selama ini. akhirnya dia jadi nekat. Tanpa memedulikan bahaya yang mungkin mengancam, dia terus masuk ke dalam gua. Ternyata keadaan gua itu sangat luar biasa indahnya. Sebuah istana di bawah perut gunung. Di setiap tikungan terdapat batu permata yang memancarkan sinar kemilau terang. Bau harum yang segar mengalir terbawa embsan angin. Kakek itu hampir tak percaya ketika melihat seorang putri jelita sedang duduk di atas kursi batu hitam.
     "Masuklah, kau pilih buah itu dan makanlah," perintah putri itu berwibawa. Si kakek ragu-ragu, untuk apa ia harus makan buah ranum itu?
     "He, bukankah tujuanmu datang kemari ingin memiliki kesaktian sejati?"
     "Ooo.." desah kakek itu seperti linglung. Dan tanpa berkata lagi dia terus mengambil buah sebelah kiri dan dimakannya. Buah itu ternyata pahit rasanya.
     "Pergilah ke kamar nomor 99 di ujung lorong sebelah kiri. Waktumu hanya empat puluh hari. Nah, berlatihlah dengan baik."
     Kakek itu menurut, entah mengapa dia tak kuat bertatapan muka dengan putri. Lorong gua sebelah kiri itu merupakan jalur rahasia yang berliku-liku. Tiap-tiap sepuluh langkah pasti terdapat kamar batu. Dia terus mencari kamar nomor 99.
     Dan kamar yang diperuntukkan baginya itu adalah sebuah kamar batu berukuran empat kali tiga meter. Tidak ada sinar yang asuk. SEmuanya tampak gelap menyeramkan. Apalagi udara yang sangat busuk baunya.
     Setelah meneliti semua sudut di ruangan kamarnya, lalu dia memilih tempat untuk bersemedi. Mulai mala itu juga kakek itu berlatih ilmu-ilmu rahasia alam gaib yang diajarkan oleh sesuatu yang tidak tampak wujudnya tetapi terasa kehadirannya. Tiap tengah malam suar misterius itu selalu ada. Suaranya berat, sember dan tidak enak didengar telinga. Makin hari latihannya makin berat. Mengosongkan jiwa tetapi menghidupkan nafsu-nafsu yang bergetar di setiap lubang pori-pori dan urat nadinya. Dan jika siang hari, dia harus membuat percobaan-percobaan gila. Berbagai ramuan yang sudah disediakan sebelumnya, harus dicampur dengan setetes darahnya sendiri. Tiap hari ia menggigit lidahnya untuk mendapatkan darah bagi campuran ramuan mantra yang sedang dicoba.
     Kemudian setelah melakukan tapa pati geni selama empat puluh hari empat puluh malam, kakek itu telah berhasil mencapai tingkatan 'hening sajroning curigo' yaitu kemampuan untuk melihat sesuatu pada jarak ribuan tahun yang lampau maupun yang akan datang. Kekuatan batin yang dapat menggetarkan dan mempermainkan jiwa seseorang yang diingininya melalui ilmu pembetot sukma yang luar biasa jahatnya.
    
     Hari itu selesailah sudah waktu yang dijanjikan untuknya. Dia menghadap putri lagi. Tetapi dia terkejut, ketika melihat wajah putri yang waktu pertama kalidia datang sangat cantik jelita, sekarang berubah menjadi nenek peot yang jelek dan menjijikkan. Sinar matanya berwarna kelabu mengandung unsur-unsur jahat sedang menatap dirinya tanpa berkedip. Tak terasa kulit tubuhnya jadi merinding seram.
     Dia terus bersujud di depan nenek peot itu. Ada rasa takut yang tak dapat dikatakan merayapi jantungnya. Beberapa saat masih hening. Seolah-olah keduanya sama-sama tenggelam dalam kematian semu. Tiba-tiba di luar gua terdengar suara burung elang, wajah nenek peot yang semula dingin tanpa perasaan itu kini berubah tidak senang. Dia seprti mempunyai firasat adanya sesuatu yang mengintai.
     "Hari ini kau telah lulus dalam ujian ilmu-ilmuku. Sejak saat ini kau sudah resmi menjadi pengikut dan pemujuaku yang setia. Apa janjimu setelah ambisimu yang gila nanti terwujud?" tanya nenek peot itu nyaring di antara batuknya. Kakek itu tergagap memandang 'majikannya'.
     "Aku.. akan setia dan menurut apa yang kau perintahkan."
     "Bagus, perlu kau ketahui.. di alam ini ada dua kekuasaan. Alam gelap yang menjadi kerajaanku dan alam terang yang dikuasi oleh musuhku. Kau harus mewakiliku melenyapkan musuh kita itu. Sebab, kehidupan tidak bisa menerima dua sumber kekuatan yang saling bertentangan dalam satu tempat dan waktu yang sama. Salah satu harus hancur. Nah, sanggupkan kau melaksanakan tugas bagi kerajaan kita?"
     "Aku akan menjalankan perintahmu tetapi mohon tanya, siapakah musuh kita itu?"
     "Pergilah ke luar, dia sengan menunggumu di sana.."
     Alam seolah murka. Langit berwarna kelabu gelap. Pohon-pohon juga tampak kelabu. Jalanan berdebu kotor dan sungai yang mengalir berwarna kemilau keruh. Udara seprti berhenti mengalir. Aneh, si kakek memandang semuanya seperti di bawah sadar. Tetapi yang lebih mengejutkan adalah burung elang raksasa dan seorang tua berjenggot putih sampai menyentuh lutut. Wajah tua itu menatap penuh welas asih. Cahaya terang keluar dari tubuhnya yang terbungkus jubah merah. Itulah si orang misterius waktu pertama kali dia datang ke kawah.
     "Sadhu..sadhu.. sadarlah ng'ger.."
     "Apa? Kau bicara dengan siapa?" bentan kakek itu.
     "Kepadamu ng'ger, aku ingin memberi nasihat, tinggalkan tempat ini dan bersujudlah kepada Tuhan Yang Maha Agung dan Suci.." si orang misterius berjenggot panjang itu masih tersenyum damai. Mendadak kakek itu tertawa mengakak.
     "Grr.., kau anggap apa aku ini, cucumu kak? Hua..ha..haha.."
     "Kau memang pantas kusebut cucuku ngger, karena usiamu sepertiga dari usiaku yang sebenarnya. Jangan kaget, akulah yang disebut Ki Waskito, penguasa alam terang, musuh bebuyutan gurumu."
     "Ah, kau..kau..," jawab kakek itu terkejut.
     "Ya, aku memang bertugas menyadarkan orang-orang sesat yang ingkar kepada kodratnya. Jangan terlalu jauh bermimpi tentang rahasia alam gaib. Tidak bisa ng'ger.. tidak bisa.."
     "Tetapi aku telah berhasil, peduli apa denganmu."
     "Apa yang kau ketahui itu cuma kulit luarnya saja. Dan itu telah menyesatkan pikiranmu. Sadarlah sebelum terlambat.."
     "Hmm, susah payah aku berlatih ilmu. Sekarang kau bilang semua itu cuma omong kosong belaka. Jahanam kau. Aku akan menghancurkan Waskito. Aku akan segera melaksanakan rencanaku, dunia ini akan kugenggam di dalam tanganku. Hua..ha..haha..." Dan tertawalah kakek itu seperti sudah sinting.
     "Aku tahu, kepandaianmu sekarang ini mungkin mampu mecelakakan sesamamu yang tidak kau senangi atau malah kau buat suatu percobaan dari ambisimu yang gila. Tetapi kituk cepat menelan dirimu. Kau akan mati di dalam kegelapan. Kau dengar ng'ger, mati dalam kegelapan adalah siksa yang pedih seperti di neraka."
     "Persetan dengan khotbahmu, Waskito. Lihatlah, apa yang akan kulakukan ini," geram kakek itu penuh kemarahan. Dia terus mengambil sebuah kaca bulat sebesar kepala orang. Mulutnya membaca mantra, dan bola kaca itu dibantingnya dengan keras. Bummm.. seketika itu juga terjadi keajaiban. Di depan mereka terpampang ilusi seperti layar yang memperlihatkan keadaan pada saat itu juga dalam jarak ribuan kilometer di tempat lain.
     Alangkah hebat dan ajaibnya. Pada waktu itu tampak seorang laki-laki muda sedang jalan di jalan raya. Entah apa sebabnya mendadak kepala orang muda itu mengepulkan uap hitam, tubuhnya bergetar hebat. Lalu sebelum si orang misterius itu sempat mencegah, kakek itu sudah membentak memberi perintah lewat mantranya. Aneh, orang muda di dalam layar ilusi itu tiba-tiba mengamuk. Dua orang yang sedang duduk di warung diseret kasar terus dibacoknya berkali-kali sampai mati mengerikan.
     Belum puas sampai di situ, kakek itu mulai mengarahkan pikirannya kepada dua buah pesawat terbang yang sedang melayang di atas lautan. Dan dengan kekuatan batinnya, ia mampu memaksa salah satu pesawat itu mengubah arah penerbangannya. Seperti tak berdaya, dua pesawat itu dipermainkannya sebentar, kemudian ditariknya ke dalam lingkaran pengaruhnya. Dua pesawat terbang itu meluncur kencang tanpa kendali lagi, dan..rrr.duaarrr.."
     Bagaimana panik dan menyedihkan tragedi di atas lautan itu. Hancur berkeping-keping kemudian tenggelam ke dasar laut. Mungkin tidak ada seorangpun di dunia ini yang percaya bahwa musibah itu karena perbuatan gila seseorang yang mempunyai ilmu sesat.. dan sudah dapat dipastikan, dunia akan gempar.
     "Hua.ha.ha.. lihatlah Waskito, aku akan menghancurkan apa saja yang berani menentangku. Termasuk kau juga."
     "Biadab. Perbuatanmu sudah keterlaluan ngger. Dunia bisa berantakan kalau nafsu gilamu itu tidak segera dihentikan."
     "Huaah, tua bangka sialan. Apakah kau takut, heh?"
     "Aku takut jika ilmu yang kau miliki itu kau pergunakan untuk mempengaruhi pikiran para pemimpin dunia. Bukan tidak mustahil dengan menciptakan rasa tidak percaya sesama negara maju, kemudian kau memasukkan pikiran iblismu ke dalam otak mereka, dunia ini bisa meledak menjadi kiamat sebelum waktunya..."
     "Hmm, kalau sudah mengerti mengapa kau tidak segera tunduk kepadaku? Berlututlah, dan kuampuni nyawamu!" bentak kakek itu penuh kesombongan. Tetapi Ki Waskito cuma menghela napas panjang berkali-kali. Agaknya dia menyesali ilmu kepandaian orang yang disalahgunakan untuk memuja nafsu. Tapi dia harus segera melenyapkan sumber bibit malapetaka di kemudian hari itu. Dunia benar-benar sedang menghadapi ancaman yang mengerikan dengan lahirnya orang-orang gila yang mabuk peperangan dan ingin hidup sendiri. Entah bagaimana jadinya jika kakek itu berhasil mempengaruhi para pemimpin negara yang mempunyai senjata nuklir untuk saling menghancurkan Akibatnya tentu sangat mengerikan.
     "Kesabarnku tentu ada batasnya ng'ger, jika kau tidak bisa disadarkan lagi, yah.. terpaksa aku harus melenyapkanmu."
     Tertawalah kakek itu mengakak mendengar kata Ki Waskito. Tetapi kemudian wajahnya berubah gelap menyeramkan penuh hawa maut yang menjijikkan. Perlahan-laan ia maju mengancam. Keduanya saling berhadapan dengan waspada. Masing-masing mempersiapkan ilmunya untuk saling terjang. Mendadak kakek itu menggempur dengan suara parau dan tenaganya mendorong ke depan melancarkan serangan yang bukan main hebatnya melanda dada si orang misterius berjubah merah. Tetapi Ki Waskito sudah bersiaga. Dengan cepat dia mengebutkan lengan bajunya yang lebar.
     Serangkum angin lantas menahan hawa jahat dari kakek yang menjadi musuhnya itu. Dan terjadilah pertarungan dua ilmu yang berlawanan aliran. Pertempuran kelas tinggi dari tokoh ilmu kanuragan sejati itu memang sangat mendebarkan jantung. Indah dilihat tetapi mengandung hawa maut yang setiap saat mengincar kelemahan lawan.
     Sekali waktu Ki Waskito memperoleh kesempatan baik. Sambil bersiul nyaring dia melancarkan jurus simpanannya 'Menggugurkan langit mengaduk lautan'. Gelombang tenaga yang tidak terlihat berputar-putar seperti mau merontokkan isi dada musuhnya. Dengan memekik ngeri, kakek itu muntah darah dan tubuhnya terhuyung-huyung mundur. Wajahnya menjadi pucat pasi. Hampir tak percaya dia memandang lawannya masih dengan sorot kebencian. Sekali lagi Ki Waskito melontarkan pukulan sakti udara kosong tingkat kesebelas, kemudian disusul dengan tendangan berantai 'Mengejar arwah, menyambung roh'. Hebat serangannya kali ini. Suatu arus kekuatan gaib mencengkeram kakek itu dan kemudian menghentakkannya sekuat-kuatnya hingga meledak dan hancur berkeping-keping. Sampai beberapa saat Ki Waskito masih termangu-mangu memandangi asap berbau busuk dari bekas 'mayat' musuhnya.
     Perlahan-lahan alam kembali seperti semula. Bayangan semua berwarna kelabu yang aneh sudah lenyap. Tetapi dari jauh, kawah puncak Mahameru menggelegak dahsyat seolah-olah murka melihat kematian murudnya yang setia. Berkali-kali terdengar letusan disertai hujan abu dan percikan api yangmenyembur ke luar dari puncak gunung.
     Ki Warkito segera naik ke atas punggung burungnya dan memburu ke puncak Mahameru. Dia harus segera tiba di sana agar bencana yang lebih dahsyat dapat dicegah. Akhirnya dia melihat tanda-tanda buruk itu. Sejalur asap hitam kemerah-merahan meluncur dari dasar kawah. Ki Waskito menangkap dan meremasnya sekuat tenaga. Ada perlawanan dari benda yang ditangkapnya itu. Tetapi dia makin memperkeras tenaganya. Dan dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Agung, Ki Waskito berhasil menghancurkan benda merah di dalam genggamannya itu.
     Seketika itu juga keadaan menjadi reda kembali. Dan Ki Waskito lalu mengambil sesuatu di dalam benda merah di dasar kawah. Benda itu ternyata abu jenazah orang sakti yang sesat hidupnya pada ribuah tahun yang lalu. Abu jenazah yang tidak mau bersatu kembali dengan tanah.
 cerita: Wahyu HR
Senang 00532, thn 1982
Baca selengkapnya »

Pengorbanan Untuk Leluhur

     Tidak ada hal yang terbaik lebih dari membalas budi. Ini merupakan bakti yang tertinggi bagi seseorang. Manusia menjadi paling hina-dina bila dikatakan tidak tahu membalas budi. Budi, mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada nyawanya sendiri. Seorang anak yang tidak menurut kata-kata orang tua, dikatakan sebagai anak yang tidak berbudi. Orang tidak tahu membalas kebaikan, dikatakan sebagai orang tidak berbudi. Sebagai tanda bakti untuk membalas budi orang tua, seorang anak rela berkorban apa saja. Dengan segala cara ia akan menunjukkan sebagai anak yang berbakti. Ia akan menuruti segala perintah orang tua walau disuruh memasuki gunung api sekalipun. Tidak heran bila orang tua yang menentukan hitam putihnya si anak. Masih dalam kandungan pun orang tua sudah dapat menentukan pertunangan anaknya. Padahal sebenarnya belum tentu keduanya akan saling mencintai. Tak peduli bagaimana tanggapan si anak. Kalau orang tua sudah menentukan, anak harus menurut.
     Bagi orang Tionghoa, seseorang menjadi tidak berharga bila tidak mempunyai anak sarna sekali. Masih untung punya anak walaupun hanya perempuan. Banyak anak berarti banyak pula yang akan mengirim doa bila mereka nanti akan menghadap Thian, bersatu kembali dengan nenek moyangnya. Tetapi, anak laki-laki mempunyai nilai tertinggi. Anak laki-laki merupakan penerus keluarga. Dengan lahirnya anak laki-laki berarti tidak bakal putus nama keluarganya. Marga (she)-nya tidak akan dihapuskan dari muka bumi ini. Keterikatan terhadap keluarga, adat, kebudayaan dan tata kehidupan menyebabkan orang Tionghoa mempunyai ciri yang menonjol, sulit meninggalkan kebiasaannya, sulit menerima kehadiran hal-hal yang asing sehingga mereka dicap sebagai tertutup dan menyendiri.
     Khong Cu dapat menanamkan ajarannya begitu kuat kokoh sehingga mampu mengalahkan aturan agama apapun yang masuk ke Tionggoan. Agama yang penuh kasih itu menarik minat banyak orang. Makin lama pengikutnya makin banyak. Tetapi percampuran dengan adat dan kebiasaan setempat tidak dapat dihindari lagi, dan sekarang sulit untuk membedakan mana yang asli mana yang bukan.
     Daerah Selatan daratan Tionggoan merupakan daerah yang paling subur sehingga tampak kemakmuran rakyatnya. Berbeda dengan daerah utara yang gersang, memerlukan kekerasan kemauan untuk dapat bertahan hidup. Di daerah selatan orang dapat lebih santai bekerja, lalu mempunyai sisa waktu untuk berduka ria sebelum musim panen. Tidak heranmbila kemudian timbul kesenian serta kebudayaan yang tinggi. Bukan hanya seni sastra, serta musik saja. Juga seni lukis dan pahat berkembang baik sekali.
     Banyak tokoh-tokoh yang muncul menjadi sastrawan besar, filsuf dan cendekiawan. Semuanya muncul dari daerah selatan.
     Orang-orangnya cenderung untuk mencari sesuatu yang baru. Terbuka, dan mudah menerima sesuatu yang agak berbeda dengan yang sudah mereka miliki. Walau dalam hal ini mereka melakukan seleksi yang sangat ketat. Maka agama Budha juga masuk melalui celah di daerah selatan ini, melalui berbagai ilmu pengetahuan, pengobatan, dan kebatinan.
     Timbulnya agama Budha di Tionghoa bukan tanpa guncangan. Agama Tao yang sudah lebih dulu ada terdesak. Mereka bersaing. Kadang-kadang timbul bentrokan di antara para pengikutnya. Pertumpahan darah tidak dapat dihindari lagi. Tercatat bahwa perang antara mereka timbul beberapa kali sehingga menimbulkan banyak korban yang sia sia. Namun mereka merasa bangga sebab dapat mempertahankan keyakinannya.
     Di dusun Li-kuo-cun ada seorang pemuda yang saleh. Kelakuannya setiap hari cukup baik. Sopan santun serta keramahannya menjadi buah bibir banyak orang. Wajahnya yang ganteng membuat para ibu ingin mengambil menantu dan banyak gadis tergila-gila kepadanya. Namanya Siauw Liong. Orang tuanya berharap agar si anak kalau besar nanti akan dapat berlaku sebagai Naga, karena naga merupakan perwujudan watak yang luhur dan kokoh sebagai binatang surga.
     Sejak kecil Siauw Liong tidak menunjukkan keistimewaan. la tumbuh wajar seperti anak-anak lainnya di kampung. Belajar membaca dan menulis, bermain-main, dan sesekali membantu kedua orang tuanya ke sawah dan kebun. Bila malam mendengarkan cerita kepahlawanan nenek moyangnya. Memang, Siauw Liong masih keturunan orang-orang terkenal, pahlawan pembela tanah air, dan banyak pula yang menjadi panglima kerajaan. Hal itu dapat dilihat makam keluarga yang sangat besar serta mewah tidak begitu jauh dari kampung. Sekali setahun, paling tidak, Siauw Liong diajak orang tuanya berziarah serta melakukan sembahyang di makam keluarga.
     Siauw Liong bercita-cita untuk menjadi sastrawan. la gemar membaca tulisan para pujangga zaman dahulu. Malah telah dapat membuat sajak-sajak yang bagus. Orang-orang di kampungnya kagum serta bangga akan kepandaiannya. Malah seorang satrawan dari kota yang menjadi guru memberikan pelajaran khusus kepada Siauw Liong. Dengan cepat anak itu telah tumbuh menjadi orang terpelajar, penuh hikmat lagi pula bijaksana.
     "Liong-ji, ibu ingin agar kau dapat menjadi sastrawan besar agar nama kita tetap terpelihara sepanjang zaman," katanya pada suatu saat.
     “Ma, harapanmu pasti terkabul,” jawab Siauw Liong.
     “Kau memang anak yang berbakti, Liong Ji. Hanya kau yang akan mampu mengangkat derajat orang tuamu yang sudah mulai payah ini,” sambung ayahnya.
     “Thia, doakanlah agar anakmu ini dapat belajar dengan baik,” kata Siauw Liong lagi.
     Makin lama anak itu makin tekun. Juga usianya makin bertambah. Makin banyak pula gadis yang teruka-gila padanya. Secara berbisik-bisik mereka mulai membayangkan bahwa dirinya bakal menjadi menantu Han Siang, ayah Siauw Liong. Bila mereka melihat ibu Siauw Liong lewat hendak ke pasar, sa¬lah seorang pasti ada yang mengatakan kepada temannya, "Itu mertuaku akan ke pasar." Maka berderailah tawa me¬reka.
     Tetapi Siauw Liong sendiri hampir tidak memedulikan mereka. Pergaulannya tetap biasa-biasa saja. Ia menegur dan berbicara kepada siapa saja. Murah senyum dan tetap ramah. Dalam hatinya belum ada seorang gadis pun yang menambatnya. Hati dan pikirannya terus tertuju kepada pelajarannya. Siang hari ia membantu orang tuanya di sawah dan ladang, malam harinya menekuni buku pelajarannya. Sesekali ia pergi juga ke pasar ikut menjual hasil sawah dan ladangnya yang berupa sayur-sayuran, palawija, dan hasil bumi lainnya.
     Pada suatu malam Han Siang memanggil anak yang semata wayang itu. Anak tunggal yang sangat dikasihinya.
     "Liong-ji, menurut perhitunganku pada Sa-gwee  Cap-Go nanti usiamu sudah dua puluh lima. Cukup tua bagi seorang laki-laki untuk segera menikah," kata ayahnya.
     "Apakah Thia maksudkan agar anakmu segera menikah?" tanya Siauw Liong.
     "Begitulah. Kami sudah tua. Ibumu ingin segera menimang cucu. Tidak lama lagi ayah sudah tidak mampu lagi ke sawah. Kaulah yang akan menggantikan kami yang tua."
     "Thia, anakmu mohon waktu sedikit lagi untuk menyelesaikan pelajaran. Sabar saja sedikit," jawab Siauw Liong. Tetapi Tuhan menentukan lain. Kehidupan manusia tidak dapat diduga. Daratan Tionggoan terserang wabah. Begitu juga dusun Li-kuo-cun. Kedua orang tua Siauw Liong tidak luput dari ancaman El-Maut. Kala itu Siauw Liong sedang berada di kota memperdalam pelajarannya. Di sana ia bertemu dengan seorang pendeta Budha, dan Siauw Liong belajar tentang agama itu kepada sang Hwesio.
     Berita duka itu datangnya terlambat. Betapa menyesalnya Siauw Liong tidak dapat menunggui serta merawat kedua orang tuanya yang menderita. Ia menangis di atas pusara kedua orang tua-nya. Untunglah, karena dihibur oleh Pek Bin Hwesio yang menjadi gurunya, ia sadar bahwa tidak ada gunanya menangisi kematian ayah bundanya. Lalu ia tambah tekun belajar tentang agama yang baru saja masuk ke Tionggoan itu.
     Dengan tekun Siauw Liong mempelajari buku-buku pelajaran agama Budha. Malah kini ia masuk ke dalam sangha menjadi hwesio. Karena ketekunannya ia segera dilantik setelah mengucapkan sumpahnya untuk tetap berlindung kepada sang Budha, kepada sangha dan kepada dharma. Di daerah itu ia merupakan satu-satunya pemuda yang menjadi hwesio. Orang menyebutnya sebagai Giok Bin Hwesio sebab wajahnya memang bersih bagaikan batu giok.
     Selain mengamalkan dharmanya sebagai hwesio, Giok Bin Hwesio tekun membaca keng. Hati dan jiwanya seolah-olah telah lepas dari dunia ini. Ia telah men¬dapatkan kenikmatan sejati. Tidak ada keterikatan dengan dunia yang penuh duka nestapa, penuh samsara. Tujuan utama Siauw Liong yang sudah dijuluki Giok Bin Hwesio (bukan gelar) . Adapun gelarnya adalah Bhammapadha (hendak mencapai nirwana). Bahkan hendak menjadi Bodhisatwa.
     Pada suatu malam, ketika ia sedang tekun mengucapkan liam-keng, masuklah seorang berwajah ganteng dengan pakaian yang indah ke dalam kamarnya yang sederhana. Giok Bin Hwesio menghentikan pembacaan Kengnya.
     "Siapakah Anda?" tanyanya kepada sang tamu.
     "Saya Malaikat penjaga langit," jawab si tamu.
     "Maksud kedatangan Anda kemari?" "Para Dewa terkesan akan ketekunanmu. Para Dewa hendak menganugerahkan suatu tamasya kepadamu." "Tamasya? Pinto sudah tidak menginginkan hal-hal seperti itu."
     "Bukan tamasya sembarang tamasya, tetapi tamasya melihat isi Surga dan Neraka."
     "Kalau itu, Pinto bersedia."
     "Nah, pegang tanganku, dan pejamkanlah matamu. Jangan kaubuka sebelum kuberitahukan."
     Giok Bin Hwesio alias Dhammapada yang dulu bernama Siauw Liong kini dalam bimbingan Malaikat Penjaga Langit. Ia dibawa ke suatu tempat yang tidak mungkin dapat dikunjungi oleh manusia biasa. Di sana adalah tempat tinggal mereka yang sudah berada dalam alam lain. Alam kematian.
     "Bukalah matamu," kata Malaikat Penjaga Langit.
     Ketika Siauw Liong yang dijuluki Giok Bin Hwesio membuka matanya, ia melihat manusia yang hidup dalam kesukaan. Ada yang hidup dalam suasana pesta-pora, makan minum yang serba lezat .
     "Itulah Surga. Kesenangan semu. Kesenangan yang sesungguhnya, bersifat abadi. Tidak ada perasaan apa pun. Yang ada hanyalah ketenangan serta kedamaian. Kata-kata itu pun belum dapat menggambarkan keadaan nirwana yang sesungguhnya."
     Memang semuanya tampak seperti kesenangan di dunia fana saja. Hal seperti itu tidak menarik sama sekali. Lalu Siauw Liong diajak pergi ke suatu tempat. Tempat penghukuman roh yang semasa hidupnya berbuat tidak sesuai dengan hukum. Baik hukum dunia maupun hukum agama.
     "Itu, tempat penebusan kesalahan mereka sewaktu di dunia. Mereka yang jahat, mencuri, menipu, memerkosa hak orang lain, menindas orang lemah, menyelewengkan ajaran agama dan kesalahan-kesalahan lain.
     "Dan yang di sana, dua buah gunung baja yang selalu berputar itu, adalah tempat menggiling roh-roh orang yang akan mengalami penitisan kembali. Sesudah rohnya digiling, kemudian diturunkan kembali ke dalam dunia untuk menjelma kembali sesuai dengan dharmanya sewaktu masih hidup di dunia.
     "Ada yang menjadi lebih tinggi derajatnya, kalau mereka berbuat baik, tetapi ada yang turun derajatnya bila berbuat jahat sewaktu masih hidup. Malah ada yang diturunkan menjadi binatang. Bahkan binatang yang paling hina seperti cacing, ulat, dan lain-lainnya." Keduanya berjalan melihat-lihat isi neraka.
     Pada suatu tempat Siauw Liong melihat seseorang yang terikat kaki tangannya. Kakinya terikat pada ujung sebuah batang bambu tunggal. Kepalanya berada di bawah, sedang di bawah menyala api yang panas dan mahaluas. Di pangkal pohon bambu tampak seekor tikus sedang mengerat batang bambu itu.
     "Siapa dia?" tanya Siauw Liong. "Tanyalah sendiri," jawab Malaikat Penjaga Langit.
     "Siapakah Anda?" Dan mengapa tergantung di tempat itu?" tanya Siauw Liong.
     "Aku kakek moyangmu. Aku tergantung di tempat ini karena menerima hukuman sebab keturunanku tidak mau menikah sehingga putuslah keturunanku. Tidak ada orang yang bakal bersembahyang di kuburku. Tidak ada yang meneruskan garis hidupku," jawab orang itu.
     "Anda kakek moyang saya?" tanya Siauw Liong heran.
     "Ya. Bukankah kau Siauw Liong, anak Han Siang dari dusun Li-kuo-cung. Engkau anak tunggal. Seharusnya engkau secepatnya menikah, memberikan cucu bagi ayah-ibumu, menjadi kepala keluarga dan memimpin upacara sembahyang di waktu Sin-cia."
     "Bagaimana agar Anda dapat terlepas dari hukuman itu? Soalnya tidak lama lagi tikus itu akan menumbangkan batang bambu tempat Anda tergantung."
     "Apakah kau berniat melepaskan aku dari siksaan ini?"
     "Ya. Apa pun syaratnya saya bersedia, asal Anda terlepas dari sengsara itu."
     "Kembalilah ke dunia dan menikahlah!"
     Tertegun Siauw Liong mendengar ucapan kakek moyangnya. Ia tidak dapat berpikir terlalu lama dan harus segera bertindak  demi keselamatan kakek moyangnya. Ia akan segera mengambil keputusan, maka ia minta diantar pulang ke dunia. Oleh Malaikat Penjaga Langit ia diperintahkan memejamkan matanya. Begitu ia membuka mata, ia sudah berada di kamarnya lagi. Hari sudah pagi. Ayam jantan sudah mulai berkokok. Tetapi ia belum dapat mengambil keputusan. Haruskah ia menanggalkan jubahnya dan kembali menjadi orang awam? Ataukah ia akan membiarkan kakek moyangnya tergantung di ujung batang bambu dengan nyala api di bawahnya, padahal suatu saat batang bambu itu akan tumbang sehingga kakek moyangnya terjatuh ke dalam api neraka?
     Siauw Liong belum dapat mengambil keputusan. Dapatkah Anda membantunya?

Anonim
Baca selengkapnya »

Ya Allah, Berilah Dia Kesempatan

    Rumah sakit ini tidak biasanya sepi seperti ini pada bulan Januari malam. Suasana lengang dan diam seperti keadaan cuaca sebelum datangnya badai. Aku menengok jam dinding di ruang jaga perawat. Pukul sembilan. Kukenakan stetoskop melingkari leherku, lalu berjalan menuju kamar No. 712.
     Ketika aku memasuki kamar itu, Tuan Mills sedang memandang ke arah pintu dengan pandangan yang tidak sabar. Tetapi ketika dia tahu yang datang adalah aku, perawatnya, ia segera mengalihkan pandangannya. Aku langsung menekankan stetoskop ke dadanya dan mendengarkan.
     Keras, pelan . . . bahkan berdebar-debar. Ada petunjuk bahwa dia baru saja mengalami serangan jantung ringan beberapa saat yang lalu.
     Dia memandang ke 'langit-langit, air mata menggenangi kedua pelupuk matanya, berkaca-kaca. Kusentuh tangannya, dan aku menunggu.
     "Maukah Anda memanggilkan anak perempuanku?" akhirnya dia berkata, "Anda tahu, aku ini hidup sendiri dan dia, dia adalah satu-satunya keluargaku yang kumiliki," pernapasanku tiba-tiba menjadi cepat.
     Aku menambah persediaan oksigennya. "Tentu, Tuan Mills. Aku akan memanggilnya," jawabku.
     Tuan Mills mencengkeram ujung selimutnya untuk membetulkan letak selimut itu di atas badannya. "Maukah Anda memanggilkan anakku sesegera mungkin?" napasnya cepat, terlalu cepat.
     "Aku akan memanggilnya sesegera mungkin," kataku seraya menepuk-nepuk pundaknya. "Sekarang Tuan beristirahatlah dahulu."
     Dia menutup kedua matanya. Rasa enggan aku untuk pergi meninggalkan kamar ini. Lalu melangkah menuju ke jendela kaca yang suram dan beku. Kaca terasa dingin. Di bawah, kabut tebal bergulung-gulung melintasi tempat parkir rumah sakit. Malam ini awan tebal menyelimuti langit.
     "Perawat," dia memanggil, "tolong carikan aku kertas dan pensil," katanya.
     Aku mengambil secarik kertas berwarna kuning dan pulpen dari saku bajuku, lalu menaruhnya di meja kecil di samping tempat tidurnya..
     "Terima kasih," katanya.
     Aku tersenyum kepadanya dan terus pergi berlalu.
     Di dalam catatan, anak Tuan Mills itu tertulis sebagai keluarganya yang paling dekat. Dan aku memperoleh nomor teleponnya dari bagian penerangan.
     "Hallo . . . Nona Jennie Mills, di sini Sundari, juru rawat rumah sakit. Sebagaimana pesan ayah Anda, Anda diminta segera datang ke rumah sakit. Beliau mengakui bahwa malam ini beliau mendapat serangan jantung dan dia..
     "Tidak!" dia memekik di pesawat teleponnya, mengejutkan aku. "Dia tidak kritis, kan?" kata-katanya itu terdengar lebih merupakan suatu tuntutan daripada pertanyaan.
     "Keadaannya stabil saat ini," kataku, yang berusaha untuk bersuara meyakinkan.
     "Anda tidak boleh membiarkan dia meninggal," katanya. Suaranya begitu memaksakan sehingga tanganku yang memegang tangkai telepon gemetar.
     "Beliau sekarang sedang mendapatkan perawatan yang terbaik”.
     "Tetapi Anda kan tidak mengerti," katanya. "Ayah dan aku menyimpan dendam percekcokan sudah hampir setahun ini. Aku . aku tidak pernah mengunjungi beliau sejak itu. Tetapi beberapa bulan belakangan ini aku ingin menemuinya, menghadapnya untuk mohon ampun. Aku masih ingat, kata-kata terakhir yang kuucapkan kepada ayah sebelum aku pergi waktu itu ialah 'Aku benci kepadamu, Ayah!"
     Suaranya pecah dan terdengar gelombang tangis kesedihan yang dalam. Aku terharu sehingga air mata menghangati pelupuk mataku. Seorang ayah dan seorang anak perempuan, masing-masing menganggap dirinya begitu benar, yang akhirnya mengakibatkan perpisahan yang tidak wajar. Yah, inilah gambaran bentuk hati manusia yang tidak terisi dengan iman dan budi pekerti. Hati yang tidak mendapat petunjuk-Nya yang telah disampaikan oleh Muhammad utusan-Nya. Dan memang begitulah hati manusia yang mempertuhankan nafsu. Kemudian aku teringat kepada ayahku sendiri yang kini berada ribuan mil jauhnya di tanah air. Kembali terngiang di telingaku pesan beliau kepadaku sebelum aku berangkat untuk melanjutkan studiku di Amerika ini. "Anakku, ingatlah selalu akan Tuhanmu. Dirikanlah sholat pada waktunya dan seringlah membaca Al-Quran dengan memahami maknanya. Amalkan apa yang diperintah dan tinggalkan apa yang dilarang-Nya. Insya Allah engkau akan merasa aman dan bahagia di mana pun engkau berada.”
     "Aku akan segera datang! Aku akan sampai dalam waktu tiga puluh menit," Jennie berkata, dan menaruh tangkai telepon pada tempatnya.
     Aku menyibukkan diriku dengan kertas-kertas catatan yang menumpuk di meja, tetapi aku tidak dapat mengonsentrasikan pikiranku. Kamar No. 712! Aku merasa aku harus kembali ke kamar itu. Aku bergegas pergi setengah berlari. Tuan Mills berbaring tenang tanpa bergerak. Aku memegang nadinya, tidak ada denyutan.
     "Kode 99. Kamar No. 712. Kode 99. Kamar No. 712." Sinyal itu disampaikan ke segala penjuru rumah sakit setelah operator telepon diberi tahu.
     Tuan Mills telah mengalami perhentian jantung. Aku membenahi tempat tidur dan membungkuk di atas mulutnya, mencoba untuk membuat pernapasan buatan. Kuletakkan kedua tanganku di atas dadanya dan menekankannya. Satu, dua, tiga. Pada hitungan ke lima belas aku mulai membuat pernapasan buatan dengan meniup mulutnya sekuat aku mampu, dan sekali lagi kuulangi.
     "Ya Allah, aku memohon. Anaknya akan datang. Janganlah Engkau panggil hambamu ini pada saat ini.”
     Pintu terbuka keras. Dokter-dokter dan perawat lain datang dan segera mengatur peralatan darurat. Seorang dokter mengambil alat penekan jantung. Sebuah selang dimasukkan ke dalam mulut pasien sebagai jalan udara. Para perawat memasang semprotan obat ke dalam tabung pembuluh darah.
     Aku memperhatikan pesawat monitor jantung. Tidak terjadi apa-apa. Tidak ada denyutan sekali pun. "Mundur!" teriak, seorang dokter. Aku menyerahkan kepadanya alat pengejut jantung, dan dia menaruhnya di atas dada Tuan Mills. Berkali-kali kami coba alat itu, namun sia-sia. Tidak ada reaksinya. Seorang perawat menutup tabung persediaan oksigen, degukan pun berhenti. Satu demi satu orang-orang itu pergi, muram dan diam. Aku berdiri di samping tempat tidurnya, terpana. Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun. Angin menyentak-nyentak jendela kaca, melempari kaca itu dengan salju. Bagaimanakah aku akan menghadapi anak perempuannya'?
     Ketika aku meninggalkan kamar itu, aku melihat Jennie. Seorang dokter yang tadi memasuki kamar No. 712 hanya sebentar saja berdiri dan berbicara dengannya sambil memegangi siku Jennie. Begitu dokter itu berlalu, Jennie yang ditinggalkan merosot ke dinding. Ada semacam kesedihan yang dalam meronai wajahnya, begitu pula yang terhunjam di kedua matanya.
     Aku memegang tangannya dan membimbingnya masuk ke dalam ruang duduk perawat. Kami duduk, tidak ada di antara kami yang mengeluarkan sepatah kata pun. Dia memandang lurus ke depan, wajahnya kaku, dan pandangannya kosong.
     "Jennie, maafkanlah aku," aku mulai berkata. Tetapi tidak tega rasanya aku untuk melanjutkannya.
     "Aku tidak pernah membencinya, Anda tahu? Aku mencintainya," dia berkata. Kemudian berpaling kepadaku. "Aku ingin melihatnya.”
     Apa yang pertama-tama terlintas di kepalaku ialah, 'mengapa engkau ingin membuat dirimu sendiri semakin sedih, Jennie?' Tetapi aku bangkit juga dan mengantarnya. Kami berjalan melewati koridor menuju ke kamar No. 712. Dia mendorong pintu, melangkah menuju ke tempat tidur, lalu membenamkan muka¬nya ke dalam selimut.

     Aku berusaha untuk tidak menyaksikan adegan perpisahan yang menyedihkan ini. Aku melangkah ke meja kecil di samping tempat tidur sebagaimana yang biasa kulakukan. Tiba-tiba tanganku menyentuh secarik kertas berwarna kuning. Aku memungut dan membacanya.
     "Jennie anakku tersayang, aku maaf
     kan segala kesalahanmu. Aku berdoa
     semoga engkau pun sudah memaafkan
     aku. Aku tahu bahwa engkau mencintai
     ku. Dan aku pun sangat mencintaimu".
     Ayah

     Catatan itu bergetar di tanganku ketika aku menyampaikannya kepada Jennie. Dia langsung membacanya, dan diulanginya sekali lagi. Kedamaian mulai membayang di kedua matanya. Didekapnya catatan itu di dadanya.
     "Alhamdulillahi robbil 'alamin', aku mendesis sambil memandang ke jendela kaca. Beberapa bintang telah tampak bersinar di langit malam. Sekeping salju dilemparkan angin mengenai jendela kaca dan remuk, hilang untuk selama¬nya.
     Segala puji bagi-Mu, ya Allah. Dan sesungguhnya hubungan kekeluargaan itu kadang-kadang serapuh kepingan salju itu, walau dapat disambung lagi tetapi kesempatannya sangatlah singkat.
     Aku berjalan pelan-pelan meninggalkan kamar itu untuk menuju ke ruang tunggu perawat. Tiba-tiba aku merasa didesak rindu kepada ayah di tanah air. Ingin menulis surat kepada beliau dan mengatakan, "Aku mencintaimu, Ayah. Ananda mohon doa restu"
cerita : M.Nasir
Baca selengkapnya »