Bajak Laut Selat Mangkaliat

     Ketika Perang Dunia Kedua meletus, Selat Mangkaliat ditakuti oleh para pelayar, sebagai selat yang kotor, karena berkeliarannya kapal-kapal selam sekutu, yang mengintai kapal-kapal Jepang. Dan setelah perang usai, ketika Jepang bertekuk lutut, Selat Mangkaliat tetap ditakuti oleh para pelayar, dengan munculnya di selat itu sebuah perahu bajak laut yang terkenal amat buas dan ganas, siap menghadang dan merampok perahu para penyelundup kopra, baik yang datang dari jurusan SAngkulirang, atau dari Pantai Sulawesi.
     Perahu bajak laut yang berwarna hitam, dengan layar putih bergambar tengkorak hitam, dengan tulang bersilang menjadi lambang yang paling menakutkan. Ia mempunyai anak buah yang terlatih dengan senjata lengkap di bawah pimpinan seorang kepala merangkap nakhoda, bernama Patolla. Penduduk pesisir pantai Sulawesi mulanya mengenal nama Patolla sebagai jumpo dan mata-mata Jepang. Ketika tentara sekutu mendarat, Patolla melarikan diri. Takut mendapat pembalasan dari penduduk oleh kekejamannya di zaman Jepang. Kemudian mengumpulkan beberapa anak buah untuk beroperasi di laut, melakukan perampokan dan pembunuan.
     Wanita-wanita cantik ditawan dan dijadikan santapan hawa nafsu iblisnya. Setelah puas diperkosa lalu dibunuh dan dibuang ke laut. Bajak laut berdarah dingin ini sudah tidak mempunyai rasa kemanusiaan lagi. Darah, pekikan dan jeritan baginya merupakan nyanyian mengasyikkan.
     Suatu ketika perahu layar Patolla yang bernama Hantu Laut sedang berlayar di Selat Mangkaliat. Angin Timur berembus lembut, mengepakkan layar perahunya. Patolla tersenyum-senyum gembira melihat keadaan laut yang tenang dan cuaca yang jernih. BAginya keadaan laut seperti itu sangat menguntungkan, karena ia akan sangat mudah untuk menyergap mangsanya dengan perahunya yang laju.
     Tiba-tiba jauh di depan sayup-sayup terlihat sebuah layar perahu memutih diterpa sinar matahari. Mata Patolla bersina-sinar melihat mangsa di depan perahunya. Ia memerintahkan anak buahnya mengencangkan tali layar, untuk memburu perahu yang ada di depannya. Dan seketika meluncurlah perahu Patolla dengan lajunya. Tak payah bagi Hantu Laut untuk mengejar perahu yang akan menjadi mangsanya itu. Dalam waktu tak sampai atu jam Hantu Laut sudah menyerempet perahu yang sarat dengan muatan kopran, yang akan diselundupkan ke Tawau. Dengan pistol di pinggang, Patolla berdiri di haluan perahu. Ia menembak ke atas tiga kali, memerintahkan agar mangsanya menurunkan layar. Dengan penuh ketakutan perahu itu menurunkan layar. Dan Hantu Laut pun merapat seraya melemparkan tali kepada mangsanya.
     Patolla tersenyum gembira melihat perahu yang sarat dengan muatan kopra itu. Penumpangnya terdiri daru dua orang laki-laki separuh umur dan dua orang wanita muda berparas cantik. Patolla memerintahkan agar penumpang perahu itu membongkar dan memindahkan kopranya, yang dilakukan kedua lelaki itu denan tubuh menggigil ketakutan. Mereka kini insyaf telah jatuh ke tangan perampok laut yang buas dan ganas. Kedua wanita muda yang ada di dalam perahu itu diperintahkan Patolla pindah ke perahunya.
     Setelah pemindahan kopra selesai, Patolla memerintahkan kedua laki-laki itu kembali naik ke perahunya, kemudian Patolla memerintahkan anak muahnya merampas layar perahu mereka dan melepaskan ikatan perahu itu sebelum meninggalkannya terkatung-katung tanpa layar.
     Tinggal terdengar jeritan dan tangisan yang memilukan kedua wanita muda itu. Patolla berdiri bertolak pinggang dengan senyum kemenangan melihat tawanan yang masih muda dan cantik.
     Anak-anak perahunya tahu pasti kedua wanita itu akan menjadi santapan pemimpinnya yang tak berperikemanusiaan. Salah seorang anak buah Patolla yang bernama BAhar, memandang kedua wanita itu dengan mata tak berkedip. Lama ia diam-diam memperhatikan mereka. Lalu ia mempertajam ingatannya. Ia merasa masih mengenal kedua wanita itu, wanita yang sebenarnya masih ada pertalian keluarga dengan dirinya. Diingat-ingatnya, kalau tak salah wanita muda itu bernama Fatimah dan Hadijah. Ketika wanita itu melihat Bahar, tampak keduanya seolah-olah kaget dan ingin berkata kepada Bahar, namun Bahar cepat memberi isyarat dengan mengacungkan telunjut ke mulutnya. Bahar berpikir keras untuk menolong kedua wanita itu. Sebenarnya hati kecilnya sangat tidak menyetuhui tindakan pimpinannya yang ganas dan kejam, yang kadang-kadang memandang nyawa manusia tak lebih dari nyawa seekor ayam.
     Ia dijadikan anak buah perahu itu, adalah karena ditawan dalam suatu pelayaran. Sudah lama ia berniat untuk lari, namun tidak ada kesempatan, karena perahu Hantu Laut jarang merapat ke pantai, paling-paling menuju ke Tawau, menjual hasil rampokannya. Di Tawau ia tak bebas untuk naik ke darat sebaba selalu diawasi dan tidak diperbolehkan berkeliaran.
     Ketka hari sudah menjelang senja, dalam kesempatan memberikan air minum dan makanan kepada kedua wanita itu, Bahar sempat bertanya dengan suara berbisik, "Kau yang bernama Hadijah dan Fatimah asal dari Majenne?" Kedua wanita itu mengangguk seraya menjawab, "Kalau tak salah kau ini Bahar. Ya Allah mengapa kau sampai masuk komplotan ini?"
     "Sssstt... kalian tenang-tenang saja aku akan berusaha menolong kalian. Berbuatlah setenang mungkin." BAhar berlalu cepat ke buritan perahu.
     Di buritan ia termenung, merenungi malam yang pekat tak berbintang. Di langit tampak awan hitam bergumpal-gumpal, pertanda badai akan turun. Pikiran Bahar tertuju kepada Hadijah dan Fatimah, yang sebentar malam pasti akan diperkosa pimpinannya. Ia menadahkan mukanya ke langit, sebutir bintang pun tak tampak. Angin mulai berembus kencang membuat ombak menggila memukul-mukul badan perahu.
     Dan Bahar melihat Patolla sudah memerintahkan anak buahnya berjaga-jaga di bagian depan dan belakang perahu. Tak seorang pun yang boleh masuk ke ruang bawah. Bahar tahu Patolla pasti sudah akan mulai menggerayangi kedua wanita itu. Dengan merangkak di atas atap perahu BAhar cepat berlari ke bagian depan. Ombak mulai keras memukul-mukul badan perahu, namun perahu masih terus melancar laju. Tiba-tiba BAhar memasuki ruangan bawah seraya berteriak memanggil Patolla.
     "Cepat Bapak keluar... di depan kita ada perahu layar lagi. Kita mendapat mangasa baru lagi." Mendengar teriakan Bahar, Patollah yang tadinya sudah bersiap-siap memulai rencananya memuaskan hawa nafsunya, dengan mendongkol segera keluar. Seraya bertolak pinggang ia bertanya, "Mana perahu itu...?"
     Bahar mendekat Patolla dan tangannya menunjuk ke depan. "Coba Bapak lihat betul-betul bukankah yang memutih itu layar perahu..?"
     Begitu Patolla meju mendekati pinggir perahu mempertajam pandangannya, dengan gerak kilat, Bahar menikam punggung Patolla dengan badiknya, lalu menolakkannya ke laut. Di kegelapan malam, bertarung dengan deburan ombak terdengar jeritan Patolla, namun suaranya tenggelam ditelah gemuruh angin dan ombak. Bahar tertawa mengakak seraya teria, "Hai..kawan-kawan, pemimpin bajingan itu telah kutenggelamkan ke laut, dengan luka yang parah akibat tusukan badikku. Biarkan ia mampus dimakan ikan hiu.. sekarang perahu dan harta di dalam perahu ini milik kita bersama..."
     Kawan-kawan Bahar berlarian mendapatkan Bahar. Mereka semuanya segan kepada Bahar, yang kemudian berkata lagi, "Tahukan kalian.. aku sudah lama berniat meninggalkan perbuatan terkutuk ini. Kebencianku memuncak ketika aku menyadari kedua wanita yang disandera itu, adalah daran dagingku, mereka adalah keluargaku. Maukah kalian menuruti nasihatku..? Mulai sekarang kita bersumpah menghentikan perbuatan terkutuk ini. Perahu kita bawa ke pantai Sulawesi, layar yang berlambang tengkorak kita robek bila mencapai pantai dan tulisan Hantu Laut cepat kita hapus dan kita berjanji akanmenjadi manusia baik-baik. Biarkan SElat Mangkaliat aman dan tenang.. Setujukah kalian..?"
     Semua kawan Bahar berterai menyatakan setuju danmereka semua bersumpah dan berjanji akan menuruti nasihat Bahar. Begitu mereka mengucapkan sumpah dan janji, tiba-tiba cuaca menjadi cerah, laut berubah menjadi tenang. Dari dasar laut, tersembul bola perak yang benjol memercikkan cahaya yang gemilang, seolah-olah rembulan turut bersuka cita dengan janji dan sumpah bajak laut itu. Dan perahu mereka pun melancar dengan lajunya mencari arah pantai.
     Sementara itu Patolla yang tertikan dari belakang, timbul tenggelam dibantingkan ombak. Punggungnya yang mengucurkan darah, terasa perih terkena air laut. Namun ia terus berusaha berenang dengan susah payah. Di kejauhan terlihat olehnya layar perahunya meluncur laju semakin mengecil dan semakin jauh. Ombak terus mengombang-ambingkan tubuhnya. Dan ketika ombak mulai tenang serta rembulan mulai bersinar, Patolla berhasil mendapatkan pohon nipah yang hanyut lalu bertopang. Ia mencoba menahan sakit sekuat-kuatnya. Sementara arus menghanyukan tubuhnya dengan kencang. Ketika sudah laurt malam, sebuah pukulan ombak yang kuat membantingkan tubuhnya ke pantai. Patolla merasa bersyukur, walaupun dalam keadaan payah, ia bisa mencapai pantai. Dengan lesu ia mencoba merangkak. Lukanya terasa sangat pedih.
     Ia merasa lapar dan dahaga.
     Sebagai seorang pelaut ya mengingat dan masih mengenal pantai itu adalah pantai Tanjung Mangkaliat. Dengan sangat susah payah ia terus merangkak. Tiba-tiba di kejauhan ia melihat cahaya lampu bersina-sinar, dari balik pohon-pohonan yang rimbun lebat. Patolla mengingat-ingat, dulu kalau tidak salah ingat di situ terdapat sebuah perumahan penunggu mercu suar. Mungkin di situ ia akan mendapat pertolongan. Patolla mengumpulkan seluruh kekuatannya menuju ke arah lampu itu. Ia berjalan terhuyung-huyung, akhirnya berhasil juga mencapat tempat itu. Benar juga dugaannya. Tempat itu sebuah bekas perumahan mercu suar. Ia cepat mendekatinya dan menaiki tangga rumah itu.
     Pintunya terkuak dan jelas tampak seorang laki-laki uta sedang mengahadapi lampu tempel memperbaiki pukatnya. Patolla lalu naik dan menyapanya. Orang tua itu tak menjawab, hanya menatapnya dengan sorotan mata yang tajam. Patolla memperlihatkan belakangnya yang luka berdarah, kemudian berkata meminta air minum dan makan. Orang tua itu tak menjawab, hanya berlalu ke belakang, kemudian membawakan air minum dan sepiring singkong rebus. Patolla mengira mungkin orang tua itu bisa, tak bisa berbicara.
     Tanpa disuruh lagi Patolla cepat minum dan melahap singkong rebus itu. Selesai makan ia terus terbaring kelelahan merasakan lukanya yang nyeri. Dan dalam keletihan amat sangat, ia tertidur.
     Esoknya ketika Patolla sadar, sambil menggosok-gosok matanya, ia menoleh berkeliling. Betapa kagetnya ia, orang tua yang dilihatnya tadi malam, ternyata sudah menjadi bangkai yang tergeletai di sampingnya, menyebarkan bau busuk. Dan di kiri kanannya bergulingan tengkoran-tengkoran manusia. Patolla memperhatikan bangkai orang tua itu, kemudian baru ia teringat. Beberapa waktu yang lampau ketika merampok sebuah perahu, ia pernah menembak kepala orang tua itu sampai benaknya bertaburan kemudian mendorongkannya ke laut.
     Dan tengkoran yang bergulingan di kanan kirinya, berubah bentuk menjadi mayat-mayat yang pernah dibunuhnya di tengah laut. Di sampingnya lagi dilihatnya gelas yang diminumnya tadi malam penuh berisi daran dan sebuah piring berisi potongan tulang-tulang manusia. Itulah rupanya yang diminum dan dimakannya tadi malam. Akhirnya Patolla merasa ngeri dan ketakutan.
     Ketika ia mencoba lari, ia jatuh terjerembab dari anak tangga rumah itu, kemudian dalam keadaan sangat payah, ia mengembuskan napasnya yang penghabisan. Tamatlah riwayat Patolla sebagai bajak laut yang amat buas dan ganas.
     Beberapa hari kemudian sebuah perahu yang kehabisan air tawar dan mendarat di pantai Mangkaliat menemukan mayat bajak laut itu dalam keadaan sudah membusuk dirubung lalat hijau dan ulat-ulat.

cerita : Masran H.A.
majalah Senang edisi 0534, thn 1982

0 komentar:

Posting Komentar