Jalan Terakhir

     Sudah lama Dolah bermaksud untuk berumah tangga dan sudah enam orang pula gadis yang dilamarnya. Namun hasilnya selalu sama, tak seorang pun di antara mereka yang mau menerima lamarannya. Alasan mereka bermacam-macam. Ada yang mengatakan belum mau berumah tangga, dan ada pula yang mengatakan mau mengaji dulu sampai tamat. Bahkan ada juga yang menolak lamarannya secara terus terang.
     Meskipun gadis-gadis yang dilamarnya memberikan alasan bermacam-macam, ia tahu gadis-gadis itu tidak menyukainya. Seperti Latifah, anak Toke Ali, ia mengatakan belum bersedia berumah tangga karena mau mengaji dulu sampai tamat. Tetapi ketika Hasbi, anak Haji Sulaiman melamarnya, gadis berkulit sawo matang itu tidak memberikan alasan apa-apa dan mau diperistri pemuda alim itu. Begitu juga dengan lima orang gadis lain yang pernah dilamar olehnya, sekarang semuanya sudah bersuami.
     Walaupun keenam gadis itu menolak lamarannya, ia tidak merasa kecewa dan sakit hati. la berpendapat, sesuatu tak mungkin akan terjadi bila Yang Mahaesa tidak menghendakinya. Demikian pula masalah jodoh, hanya Allah yang menentukannya, sedangkan manusia hanya bisa berusaha. Demikianlah pikiran yang terlintas di benaknya setiap kali ia gagal melamar seorang gadis, sehingga ia tidak merasa kecewa dan sakit hati kepada gadis-gadis itu. Di samping berpikir demikian, ia mempunyai sifat yang jarang dimiliki oleh pemuda-pemuda lain.
     Biasanya seorang pemuda yang sudah beberapa kali gagal melamar seorang gadis, maka semangatnya akan mengendur dan merasa malu kepada kawan-kawannya. Tetapi Dolah tidak. la tidak merasa kecewa dan semangatnya tidak patah, meskipun sudah enam kali mengalami kegagalan. Bahkan setelah gadis pertama menolak lamarannya, ia melamar lagi gadis lain yang lebih dari gadis itu, baik dari segi kecantikan wajahnya, maupun kekayaan orang tuanya. Memang gadis-gadis yang demikianlah yang selalu menjadi pilihannya. Ia tidak menyadari bahwa dirinya adalah seorang pemuda yang tidak pantas beristrikan wanita tingkat tinggi. Bayangkan, sudah wajahnya tidak tampan, pakaiannya kusut-masai, sekolahnya tidak tamat SD, malas lagi. Tetapi kini ia melamar lagi gadis yang ketujuh. Pilihannya kali ini jatuh pada Nurhayati, anak tunggal Haji Ismail yang juga kepala kampung di kampung itu.
     Mendengar yang disuruh lamar olehnya adalah Nurhayati, maka Peutua Bidin yang dikenal di kampung itu sebagai teulangke (penghubung dalam masalah pinang-meminang di geleng-geleng kepala. Ia tak habis pikir, mengapa orang seperti Dolah berani menyuruh lamar Nurhayati sebagai calon istrinya. Tetapi ia yakin, Haji Ismail pasti tak akan sudi menerima Dolah sebagai menantunya. Bahkan orang yang tak banyak bicara itu akan merasa tersinggung dan sakit hati kepada teulangke yang melamar anak gadisnya untuk pemuda malas itu. Oleh karena itu Peutua Bidin tak berani menyampaikan maksud Dolah kepada Haji Ismail.
     Ia takut akan dilabrak oleh Haji Ismail bila melamar Nurhayati untuk Dolah. Dan ia takut pula hubungannya yang begitu baik dengan Haji Ismail akan retak, bila orang seperti Dolah yang dibawakannya sebagai calon suami Nurhayati.
     Teringat akan hal-hal itu, maka Peutua Bidin tetap pada pendiriannya, tak mau membantu Dolah kali ini. Tetapi demi menjaga supaya anak muda itu tidak tersinggung, maka ia tidak mengutarakan hal itu kepada Dolah. Dan ia memberikan alasan kepada anak muda itu.
     "Begini, Dolah" kata Peutua Bidin, "bukan aku tidak mau melamar Nurhayati untukmu. Tetapi ketahuilah, aku tidak boleh melakukan pekerjaan yang sama untuk orang yang sama pula, bila sudah enam kali mengalami kegagalan. Kalau aku melakukannya juga, maka arwah orang tuaku akan marah dan sesuatu yang tidak kuharapkan akan menimpa diriku."
     "Jadi Bapak tidak mau melamar Nurhayati untukku, bukan?" tanya Dolah.
     "Bukan aku tidak mau, Dolah. Tetapi begitulah pesan ayahku ketika beliau masih hidup. Bukankah sudah enam kali aku membantumu?"
     Dolah menganggukkan kepalanya, "Jadi, siapa lagi yang bisa melakukannya, Pak?"
     "Suruh saja si Amin! Kukira ia sanggup juga melakukannya."
     "Tetapi ia masih muda, Pak," potong Dolah cepat.
     "Itu tidak menjadi masalah, Dolah. Yang penting orangnya jujur dan bijaksana:"
     "Bapak kira, bersediakah si Nur itu menjadi istriku?"
     "Belum tentu tidak, Dolah. Yang penting kau melamarnya dulu. Kalau ia mau, kau beruntung. Tetapi jika ia tidak mau, kau tidak akan merasa rugi, bukan?"
     Dolah mengangguk lagi dan menyalami Peutua Bidin. "Terima kasih, Pak," ucapnya. Kemudian ia pun meninggalkan orang tua itu dan pergi ke rumah Amin.
     Keesokan harinya ia betul-betul merasa kecewa. Bukan karena lamarannya ditolak, sebab hal itu sudah merupakan biasa baginya. Tetapi karena Nurhayati bukan saja menolak lamarannya, bahkan menghinanya pula. Gadis itu mengatakan terus terang kepada Amin, ia tidak mau menerima seorang pemalas sebagai suaminya.
     Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, betapa kesal dan kecewanya Dolah dihina begitu oleh Nurhayati. Namun entah mengapa , ia tidak merasa sakit hati kepada gadis yang telah menghinanya. Malahan masih juga ia mengharapkan agar Nurhayati sudi menjadi istrinya. Dan wajah Nurhayati selalu mengganggu tidurnya, sehingga sulit rasanya melupakan gadis itu. Tetapi apakah dayanya? Dolah bertepuk sebelah tangan.
     Tiga bulan telah berlalu, tetapi Dolah belum juga berumah tangga. Begitu juga Nurhayati, ia belum bersuami. Namun bukan karena tidak ada pemuda yang datang melamarnya. Sungguh banyak pemuda yang telah mencoba untuk mendapatkan cinta gadis tinggi langsing itu, tetapi belum ada seorang pun di antara mereka yang berkenan di hatinya.
     Mengetahui Nurhayati belum bersuami juga, maka diam-diam Dolah menyusun sebuah rencana untuk menggaet gadis itu. Entah mengapa, baru sekarang ia teringat pada Pawang Leman, seorang kampung seberang. Padahal ia kenal betul kepada orang yang bisa membuat seorang wanita mencintai laki-laki yang paling dibencinya. Teringat kepada orang tua itu, ia bersiul-siul kecil tanda gembira. Betapa tidak, dengan bantuan orang tua itu ia akan berhasil memperoleh cinta dari gadis yang paling dikaguminya. Dan tanpa menunggu esok hari, ia segera pergi ke kampung seberang untuk menjumpai Pawang Leman. Tetapi Dolah merasa kecewa karena orang yang memiliki "ilmu pekasih" itu sedang tidak berada di rumahnya. Menurut keterangan istrinya, sudah tiga minggu Pawang Leman tidak pulang ke rumahnya. Tetapi Dolah tidak memper¬oleh keterangan ke mana Pawang Leman pergi dan kapan pulangnya. Memang demikianlah sifat Pawang Leman, tidak mau memberitahukan kepada siapa pun ke mana ia pergi dan kapan ia pulang.
     Suatu sore Dolah sedang berada di semak-semak kecil, tidak begitu jauh dari rumahnya. Saat itu ia sedang mengintai sepasang tupai yang berkejar-kejaran di sebatang pohon kayu besar. Tetapi ia belum juga menembakkan anak panahnya, karena binatang pengerat itu terus berkejar-kejaran. Maka Dolah berjalan niengendap-endap, sambil matanya tidak berkedip mengikuti ke mana pun tupai itu berlari.
     "Asyik sekali tampaknya, ada apa, Dolah?" tiba-tiba sebuah suara menegurnya.
     Dolah tersentak dan menoleh ke arah datangnya suara itu.
     "Ah, Pawang, Kupikir setan yang menegurku tadi," katanya, "Dari mana, Pawang?"
     "Dari jauh," jawab orang tua 'itu, "Kau sedang apa?"
     "Memburu tupai. Aku sedang kesal, Pawang."
     "Mengapa?"
     "Gara-gara si Nur anak Haji Ismail, Pawang."
     "Ada apa dengannya?"
     "Ia menolak lamaranku" "Ah...cari saja gadis lain... mengapa?"
     "Tidak bisa, Pawang. Aku, mencintainya."
     "Usahakan untuk melupakannya!"
     ”Tak mungkin, Pawang. Karena ia telah menghinaku pula dengan mengatakan aku ini pemalas." .
     "Jadi kau tidak merasa sakit hati dikatakan begitu?" tanya Pawang Leman dengan nada heran.
     "Tidak, Pawang. Bahkan karena penghinaan itulah, maka niatku untuk memperoleh cintanya semakin bertam¬bah besar pula."
     Mendengar penjelasan Dolah, Pawang Leman semakin heran. la tak habis mengerti, mengapa sifat anak muda itu lain dari yang lain.
     "Tetapi mana mungkin lagi kau memperoleh cintanya, Dolah? Bukankah ia sudah jelas menolak lamaranmu?" katanya kemudian.
     Dolah menarik napas dalam-dalam dan menatap wajah orang tua itu lamat-lamat.
     Ya, Dolah. Tak mungkin lagi kau akan mendapatkan cinta dari gadis itu," kata Pawang Leman lagi
     "Tetapi Pawang mau membantuku, bukan? "tanya Dolah.
     Orang tua itu tersenyum, "Dengan cara memakai ilmu pekasih?" tanyanya.
     Dolah mengangguk.
     "Percuma, Dolah. Karena kalau besok aku mati, maka ia akan membencimu kembali lebih dari yang sudah-sudah. Bahkan ia akan meracunimu. Kau tidak mengharapkan yang demikian akan terjadi, bukan?"
     Dolah mengangguk lagi, "Jadi tidak ada yang bisa kekal untuk selama-lamanya, Pawang?"
     "Ada juga. Yaitu dengan cara kau mengamalkan ilmu pekasih itu."
     "Berikan kepadaku, Pawang!" kata Dolah girang.
     "Tetapi syaratnya sangat berat. Kurasa kau tak akan sanggup memperoleh ilmu ini, Dolah."
     "Berapa harganya? Aku bersedia membelinya, Pawang."
     "Bukan soal uang, Dolah. Tetapi syaratnya yang membuat kau tak akan berani untuk mendapatkan ilmu yang satu ini," kata Pawang Leman menjelaskan, "Kalau harganya satu mayam emas sudah cukup."
     "Syarat-syaratnya apa saja, Pawang?"
     Orang tua itu menatap tajam ke mata Dolah, seakan-akan ingin menilai sampai di mana keberanian anak muda itu. Kemudian ia berkata, "Pertama kau harus memberikan kepadaku satu mayam emas sebagai uang kehormatan. Syarat kedua kau harus dapat menghapal di luar kepala semua mantra yang kuajarkan kepadamu. Yang ketiga kau tidak boleh memakai ilmu ini untuk tujuan yang tidak baik. Misalnya untuk tujuan memerkosa anak gadis orang, ataupun setelah kau mengawininya kemudian kauceraikan. Dan bila kau melakukan kedua hal ini, maka kau tak akan sanggup lagi menggauli wanita. Kurasa ini tidak berat," kata Pawang Leman sambil menyulut rokok daunnya.
     "Syarat apa yang berat, Pawang?" tanya Dolah tak sabar.
     "Yang berat adalah syarat keempat, yakni kau harus berani berada seorang diri di lereng bukit, di tengah malam buta dan tidak boleh ada sehelai benang pun yang melekat di tubuhmu."
     "Kalau berani melakukannya, berarti Nurhayati akan mencintaiku?"
     "Insya Allah. Tetapi kau harus berani pula melawan siapa saja yang datang kepadamu waktu melakukan syarat keempat ini."
     "Siapa-siapa saja yang datang, Pawang?" tanya Dolah ingin tahu.
     "Bermacam-macam, Dolah. Ada yang menyerupai harimau, buaya dan ular besar. Tetapi bila kau berani melawannya, maka ia akan memberi hormat kepadamu dan mengabulkan apa yang kauinginkan."
     Dolah mengangguk-anggukkan kepalanya. Timbul rasa takutnya membayangkan binatang buas itu. Tetapi begitu teringat kepada Nurhayati, ia bertekad juga untuk memperoleh ilmu pekasih itu dari Pawang Leman. Maka ia pun bertanya lagi, "Ada syarat-syaratnya yang lain, Pawang?"
     Pawang Leman menatap ke wajah Dolah, "Kau berani melakukannya?" Dolah mengangguk lagi.
     "Betul, Dolah?" tanya Pawang Leman lagi karena kurang yakin.
     "Betul, Pawang. Demi Nurhayati aku berani melakukan apa saja."
     Pawang Leman menepuk bahu anak muda itu, "Baiklah, Dolah. Aku mau memberikan ilmu ini kepadamu. Tetapi ingat, jangan kaupergunakan untuk tujuan yang tidak baik, ya?"
     Dolah mengangguk lagi. Kemudian ia menatap wajah Pawang Leman, ingin mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari orang tua itu.
     "Begini, Dolah," Pawang Leman melanjutkan, "Kau harus bersemadi di tengah malam sunyi tujuh malam berturut-turut, dan tidak boleh ada sehelai benang pun yang melekat di tubuhmu. Dalam semadi itu kau harus membaca berulang-ulang empat puluh empat kali mantra yang akan kuajarkan kepadamu. Pada malam pertama sampai malam keenam, memang tidak datang apa-apa dalarn semadimu. Tetapi pada malam ketujuh, datanglah godaan-godaan yang mengerikan. Namun kau tak perlu takut dan harus melawan godaan itu. Dan jika kau tidak berhasil melawannya, berarti kau tak akan berhasil pula mendapatkan Nurhayati."
     "Tetapi jika aku tidak berhasil melawan godaan itu, aku tidak akan apa-apa, bukan?" Dolah bertanya agak ragu-ragu.
     Pawang Leman tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan anak muda itu, sehingga kelihatan gigi-giginya yang benvarna kekuning-kuningan.
     Lalu ia berkata, "Memang kau tidak akan apa-apa, Dolah. Tetapi kau jangan harap mendapatkan cinta Nurhayati, bila hal yang demikian sampai terjadi." Dolah kembali mengangguk-angguklcan kepalanya, "Tetapi bagaimana, Pawang? Sekarang aku tidak mempunyai uang." Orang tua itu tersenyum, "Itu tidak mengapa, Dolah. Yang penting kau harus segera melakukan semadimu. Sebab, siapa tahu dalam beberapa hari yang akan datang ini Nurhayati menerima seorang pemuda lain. Soal emas itu nanti saja kau tunaikan."
     Dolah menyalami Pawang Leman, "Terima kasih, Pawang."
     "Terima kasih kembali, Dolah. Datanglah ke rumahku nanti malam, ya? Aku akan mengajarkan mantra-mantra tersebut kepadamu."
     “Ya, Pawang. Aku akan datang nanti selepas sembahyang isya."
     "Jangan ada orang lain yang mengetahuinya, ya?" pesan Pawang Leman sambil melangkah pulang ke rumahnya.

 * * *
     Suatu tengah malam dua minggu sesudah itu, hujan turun agak lebat, sedangkan angin bertiup tidak menentu. Kadang-kadang sepoi-sepoi basah dan kadangkala agak kencang, membuat Dolah yang sedang bersemadi seorang diri di lereng bukit di desa Sarah Panyang menjadi basah kuyup dan kedinginan, sehingga timbul niatnya untuk tidak meneruskan semadinya itu. Namun ketika teringat semadinya itu adalah malam yang ketujuh, maka ia tidak beranjak dari situ dan terus membacakan mantra berkali-kali, sambil matanya tidak berkedip memandang di kegelapan malam.
     Tiba-tiba pemandangan di depannya menjadi terang benderang, bagai ada seberkas cahaya yang meneranginya. Tiba-tiba pula ia melihat di depannya ada seekor buaya raksasa sedang merangkak ke arahnya. Anehnya buaya itu tidak seperti buaya biasa. Moncongnya runcing bagai tombak dan bercabang tiga. Di seluruh badannya tumbuh pula bulu-bulu runcing seperti bulu landak, sehingga membuat Dolah bergidik melihatnya. Namun ia tidak beranjak dari semadinya dan sudah siap pula untuk bergumul dengan binatang itu.
     Ketika buaya itu sudah dekat sekali dengannya, secepat kilat ia menerjang, sehingga binatang itu mengerang kesakitan.
     "Jangan bunuh aku, Tuan," katanya dengan suara mengiba. "Aku akan mengabulkan apa yang Tuan cita-citakan."
     "Baik. Aku tak akan membunuhmu. Tetapi kau harus menyuruh si Nurhayati anak Haji Ismail supaya ia mencintaiku!" bentak Dolah.
     "Baik, Tuan. Sekarang pun gadis itu sudah mencintaimu," kata buaya itu sambil menunduk, memberi hormat kepada Dolah. Kemudian binatang itu pun hilang dari pandangannya.
     Hujan sudah reda dan ia hendak beranjak dari situ, karena berpikir pekerjaannya sudah selesai. Tetapi tiba-tiba pula di depannya sudah berdiri seekor harimau sambil mengaum-aum. Ia jelas melihat, kepala harimau itu berwarna putih, sedangkan seluruh badannya belang-belang seperti harimau biasa. Dari kedua matanya keluar dua berkas cahaya menyorot ke arahnya, sehingga matanya menjadi silau. Tiba-tiba secepat kilat harimau itu melompat ke arahnya. Namun secepat itu pula Dolah menerjangnya, sehingga "raja hutan" itu jatuh tersungkur dan mengaduh kesakitan.
     "Jangan bunuh aku, Tuan. Aku akan memenuhi apa yang Tuan inginkan," katanya kemudian setelah ia bangkit kembali.
     "Baik. Aku tak akan membunuhmu. Tetapi syaratnya kau harus menyuruh si Nurhayati anak Haji Ismail supaya ia mencintaiku," kata Dolah seraya mengacung-acungkan tinjunya ke muka harimau itu.
     "Baik, Tuan. Sekarang pun ia sudah mencintaimu," kata harimau itu sambil memberi hormat kepada Dolah. Binatang itu pun lalu menghilang.
     Perasaan anak muda itu menjadi lega karena sudah dua kali ia berhasil menundukkan binatang buas yang menyerangnya. Sekarang apa lagi yang akan muncul? Tanyanya dalam hati sambil matanya menatap lurus ke depan.
     Tiba-tiba seekor naga bagai keluar dari dalam tanah sudah muncul di depannya. Tanpa mengulur-ulur waktu, Dolah langsung menerjangnya. Tetapi aneh, binatang itu tidak apa-apa. Bahkan naga itu tertawa, bagai tawa seorang gadis, sehingga ia penasaran, tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya. Sedangkan ular besar itu terus saja tertawa dan matanya yang sayu menatap mata Dolah, sehingga anak muda itu bertambah penasaran. Tetapi tiba-tiba setengah tidak sadar ia membelai punggung naga itu. Namun apa yang terjadi? Naga itu berubah bentuk menyerupai seorang gadis dan merangkulnya pula.
     "Ayo kita pulang, Bang!" pinta gadis itu sambil mengelus-elus punggung Dolah. Tetapi kemudian gadis itu hilang kembali dari pandangan Dolah. Bersamaan dengan itu, keadaan di sekelilingnya menjadi gelap kembali. Dolah sudah mengenakan pakaiannya dan sudah berdiri pula untuk melangkah pulang. Tetapi tanpa disangka-sangka dari semula, seekor ular sebesar lengan sudah melilit di tubuhnya. Mula-mula ia tidak mengira bahwa yang meliliti tubuhnya adalah benar-benar seekor ular biasa. Tetapi ketika dirasanya lilitan itu kian lama kian mengetat, maka ia berusaha melepaskannya sambil berteriak-teriak meminta tolong, sedangkan ular itu semakin mengetatkan lilitannya seraya mematuk-matuk. Untunglah Dolah telah diberi kekebalan oleh Pawang Leman. Kalau tidak, ia akan pingsan terkena bisa ular itu.
     Sudah beberapa lama Dolah bergumul dengan ular itu, sambil berusaha melepaskan lilitannya. Tetapi ular itu semakin ganas dan semakin ketat melilit tubuhnya, sehingga ia semakin susah untuk bernapas. Akhirnya ia dapat menangkap kepala ular itu dan mencekik lehernya kuat-kuat. Ular itu mengendurkan lilitannya. Pada kesempatan itulah Dolah menyelusupkan tangan kirinya antara badannya dan lilitan ular. Namun demikian, ia tidak berhasil juga melepaskan ular itu dari badannya. Maka ia menjerit-jerit meminta tolong dan berlari ke kampungnya.
     Ia sudah sampai di kampungnya dan hari sudah subuh. Ia terus berteriak-teriak meminta tolong, membuat penduduk kampung itu keheranan. Namun tidak seorang pun yang berani keluar dari rumahnya. Sedangkan Dolah terus saja berlari dan menjerit-jerit, dan sudah sampai pula di jalan kecil di depan rumah Haji Ismail.
     Mendengar jeritan meminta tolong itu, Haji Ismail yang sedang berzikir sesudah sembahyang subuh itu, cepat-cepat mengambil senter dan parang panjang, kemudian bergegas pergi ke arah orang meminta tolong itu.
     Melihat ada cahaya senter, Dolah semakin memperkeras jeritannya dan berlari ke arah orang yang memegang senter itu.
     "Tolong, Pak. Tolooong!!" teriaknya sekuat tenaga.
     Haji Ismail mengenal suara itu,
     "Mengapa kau, Dolah?" tanyanya setengah berteriak pula.
     "Tolong lepaskan aku, Pak!" teriak Dolah lagi.
     Haji Ismail sudah sampai di dekat anak muda itu dan menyorotkan cahaya senter ke arahnya.
     "Apa yang harus kulepaskan, Dolah?"
     "Tolong lepaskan ular yang melilit di tubuhku."
     "Apa kau bermimpi, Dolah?" tanya Haji Ismail sambil tertawa. "Tak ada ular yang meliliti tubuhmu."
     Dolah melihat ke tubuhnya sendiri. Memang tidak ada ular yang melilit, sehingga ia merasa malu pada Haji Ismail.
     "Apa yang telah terjadi, Bang Dolah? Sehingga kau berteriak-teriak dan seluruh tubuhmu mengucurkan keringat?" tanya Nurhayati yang tiba-tiba sudah berada di situ.
     Dolah tidak menjawab dan menatap tajam ke wajah gadis itu. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa kali ini Nurhayati memanggil kepadanya dengan sebutan Bang Dolah. Oh, betapa bahagia hatinya mendengar panggilan begitu. Karena biasanya Nurhayati memanggilnya dengan sebutan "polem" Dolah, suatu panggilan yang dianggap kurang hormat oleh anak-anak muda di Aceh.
     Keadaan hening beberapa saat karena tidak ada di antara mereka yang berbicara. Masing-masing diam membisu, seperti ada yang sedang dipikirkan. Tetapi entah apa, tak ada yang tahu.
     Tiba-tiba Dolah tersentak karena ia diajak oleh Haji Ismail untuk singgah dulu ke rumahnya. Mendengar ajakan itu, ia menjadi heran karena belum pernah Haji Ismail begitu baik kepadanya.
     "Ya, Bang. Mari singgah dulu di rumah kami! Lupakanlah apa yang telah terjadi antara kita, dan maafkanlah semua kesalahanku," kata Nurhayati menimpali.
     Dolah terpana, tak sanggup mengucapkan sepatah kata pun mendengar pernyataan dari gadis yang dicintainya. Tetapi hatinya merasa nyaman bagai dibelai angin surga.
     "Terima kasih, Tuhan. Terima kasih, Pawang Leman," katanya dalam hati sambil mengikuti langkah Nurhayati dari belakang.
     Sebenarnyalah, kuasa Tuhan juga yang menjodohkan mereka melalui kepandaian Pawang Leman.

0 komentar:

Posting Komentar