Gerahnya udara sore tidak terasa lagi. Sepeda motor yang kukendarai
melaju cepat tanpa kusadari. Menikung dari satu belokan ke belokan
lain, lelu menyalib di antara ramainya lalu lintas dengan tujuan yang
tidak pasti.
Aku hanyut dalam jalan pikiran yang kacau. Sampai entah mengapa,
aku menghentikan motorku di trotoar pantai Losari. Kusentak standar
samping lalu melangkah ke tembok pantai dan duduk di atasnya.
"Mas, bakso.!", pintaku ke arah Mas Bejo, salah seorang penjual bakso yang berjejer bersama gerobaknya di sepanjang pantai.
Sambil menunggu bakso pesananku, aku mengingat-ingat kembali
peristiwa yang baru kualami. Sungguh mampus, aru kali inilah aku
merasakan pukulan yang begitu menyakitkan. Pacarku yang
kubangga-banggakan selama ini dan juga sangat kukasihi, memutuskan
cintanya tanpa sebab musabab yang jelas.
"Ini baksonya dik.. " tegursi Mas penjual bakso dengan ramah sambil
meletakkan semangkok bakso dengan pernak-perniknya hadapanku. Sapaan
lembut itu menyadarkanku dari lamunan. Akupun lalu menggeser sedikit
letak duduk untuk mendapat posisi nyaman selama menyantap isi mangkok di
hadapanku.
Dengan lahap, dalam beberapa suap saja, bakso semangkok sudah
mengalir melalui tenggorokanku. Aku menoleh ke penjual bakso tadi,
mengacungkan satu jari ke atas dan minta tambah semangkok lagi. Porsi
yang baru tiba di hadapanku ini mengalami nasib yang sama dengan porsi
yang pertama tadi. Ludes dalam beberapa suap saja. Aku lalu minta tambah
dan tambah lagi.
Puas dengan empat mangkok bakso, aku sedikit menggeliatkan tubuh,
memandang penuh gairah ke penjual es teler yang berada di samping
penjual bakso tadi. Dengan isyarat sederhana, segera segelas besar es
teler tersaji di hadapanku, menggantikan mangkok-mangkok bakso yang
sudah kosong. Dua gelas, tiga gelas, mengalir begitu saja dalam hitungan
beberapa menit.
Rupanya penyakit kebiasaanku kumat lagi. Bila sedang emosi, kalut
atau pikiran kacau balau, nafsu makanku meningkat berkali-kali lipat.
Dan seperti sudah bersepakat dengan organ pencernaanku, perut dan
lambungku pun segera dapat menyesuaikan keadaan. Daya tampungnya menjadi
begitu dahsyat, menampung apa saja yang dimasukkan ke dalamnya.
Namun yang paling konyol dari semuanya itu adalah aku tidak mau pusing sama sekali pada penyakit itu.
Es teler gelas keempat sudah tersaji di hadapanku. Aku bersandar ke
belakang, menikmati semilir 'anging mammiri' manyapu bibir pantai
Losari mengantar romantisnya sore menyongsong senja. Oh.. nikmatnya..
Namun hanya beberapa detik aku terbuai, kenangan tentang kekasihku
yang baru saja memutuskan hubungan denganku membuyarkan semua rasa indah
yang kurasakan tadi.
Aku menoleh ke arah penjual es teler tadi, namun penjual nasi
goreng di sebelahnya yang mengangguk sopan sambil tersenyum ramah. Ah
iya, nasi goreng. Tanganku mengacung memberi tanda ke penjual nasi
goreng itu, pesanan satu porsi istimewa. Sambil menunggu nasi goreng
pesananku disiapkan, perlahan ku kendurkan ikat pinggang dan melepaskan
kancing celana jeansku. Tentu saja zipper nya ikut terkuak sedikit, oleh
desakan perutku yang sudah melar oleh bakso dan es teler tadi.
Setelah beberapa suap nasi goreng ikut berjejal di dalam lambungku,
terasa isyarat bahwa kapasitas maksimumnya sudah hampir tiba. Tapi aku
tidak peduli sama sekali. Kuselesaikan porsi istimewa tersebut dengan
tuntas tanpa tersisa sedikitpun.
Kini aku benar-benar sudah kelewat kenyang. Sambil mengusap-usap
perutku yang sudah menggelembung karena kekenyangan, aku menarik nafas
panjang beberapa kali. Aroma laut yang khas itu begitu menyegarkan
perasaanku. Meski rasa perih di perasaanku masih terasa, namun sekarang
sudah jauh lebih ringan. Perlahan-lahan rasa kalut yang membuatku
uring-uringan sudah sirna. Ah.. aku menghirup lagi dengan kuat ke dalam
paru-paruku, aroma laut itu.
Akupun berdiri dari duduk, meski dengan sedikit sempoyongan.
Kurapikan kembali kancing celana dan zippernya, terakhir mengeratkan
kembali ikat pinggang yang tadi sudah dikendurkan. Aku mau pulang tidur.
Segera kuraba kantong belakang celanaku, untuk mengeluarkan dompet
lalu membayar semua makanan yang telah kuhabiskan tadi. Refleks tanganku
berpindah ke kantong sebelah kiri, karena dompet yang kucari tidak
teraba. Tetapi, dompet itu juga tidak ada di sana. Segera tanganku
meraba saku kemeja di depan, meski dengan sangat yakin saya tahu bahwa
tidak mungkin ada dompet di saku kemeja itu.
Akupun menjadi sadar, ternyata aku lupa membawa dompet ketika tadi
bersalin dengan celana yang kupakai sekarang ini. Karena terburu-buru di
genjot emosi yang hendak meledak dalam pikiran yang kacau, aku lupa
mengambil dompet dari celana kotorku yang kugantung di belakang pintu
kamarku .
Kutatap garis cakrawala yang memerah di bibir laut sebelah sana. Aku
melangkah kembali ke arah tembok pantai lalu duduk di atasnya. "Mas,
bakso.!" Aku memesan satu mangkok lagi.
Aku benar-benar kalut.
0 komentar:
Posting Komentar