Manakala Kakek meninggal, umurku telah mencapai dua puluh tiga
tahun. Pada umur yang kesekian itu teman-teman sebayaku di desa ada di
antaranya yang sudah beranak tiga, bahkan ada pula rumah tangganya yang
sudah berantakan. Tetapi walaupun begitu aku belum berniat untuk
mengakhiri masa bujangku.
Kebetulan pula aku memiliki seorang kakek istimewa, yang tidak
cengeng. Sampai ke akhir hayatnya ia tak pernah menuntut seorang cucu.
Setelah satu tahun Kakek diperabukan barulah tebersit pikiranku untuk
mencari seorang teman hidup, seorang istri untuk mendampingi diriku.
Memang aku agak terlambat berumah tangga. Hal ini karena kejadian
lampau yang menimpa orang tuaku. Menurut cerita Kakek, Nenek meninggal
dunia setelah tiga hari ayahku diupacarai turun tanah. Kemudian ibuku
meninggal ketika melahirkanku. Menyusul kemudian ayahku tenggelam
sewaktu beliau berlayar menyeberangi Selat Lombok. Sampai sekarang
jasadnya belum ditemukan.
Dengan kejadian berturut-turut seperti ini aku agak ciut untuk
berumah tangga. Jangan-jangan aku akan menyusul Ayah pula. Sekarang
karena kematian Kakek dan alam kesunyian yang menyengat, menggugah
niatku untuk melepaskan predikat sebagai seorang lajang.
Bayangkan aku sendiri menunggui rumah berukir Kosala-Kosali yang
begitu besarnya serta mengurusi tanah tegalan hingga tiga hektar
luasnya. Akan tetapi sebelum menentukan pilihan seorang calon ratu aku
penasaran untuk dapat menemui apa yang kucari-cari selama ini.
Kendatipun takdir dan nasib katanya di tangan Tuhan dan hidup ini
menderita, biarlah. Aku ingin hidup lebih lama lagi. Jangan sampai
seperti leluhurku berpulang rata-rata dalam usia muda. Dengan demikian
niat bertualang semakin merangsang diriku. Untuk pertama kali aku akan
belajar bagaimana rasanya menjadi seorang manusia leak.
Dari Pekak-Balian, seorang dukun yang berumah di Tanjung Benoa, aku
mendapatkan sebuah destar kain kasa berajah. Dilukis dengan tinta Cina
berbentuk seekor makhluk mengerikan. Pada keempat sudutnya terlukis pula
empat ekor binatang. Mata keempat binatang itu memancarkan keganasan,
raut mukanya begitu garang mengerikan. Sedang kakinya dengan kuku
panjang, kokoh mencengkeram tengkorak manusia.
Di empat sudutnya, di batik rajahan tadi, ada tertulis huruf-huruf
Jawa kuno, bentuknya aneh bersusun menjadi satu. Walaupun aku tergolong
pandai memahami aksara Jawa kuno, tetapi membaca ini amat sulit bagiku.
Mengenai destar ini tak boleh dipergunakan sebagaimana mengenakan
destar biasa, dililitkan di sekitar kepala. Melainkan kalau hendak
kupakai harus menutupi seluruh kepalaku seperti mcmpergunakan selembar
tudung. Apabila tidak digunakan, destar itu harus diletakkan di bawah
bantal dan melipatnya pun ada caranya tersendiri. Saat memakainya hanya
pada waktu malam hari saja, itu pun kalau malam telah larut.
Pada suatu hari nafsu tidurku hilang sama sekali. Kian kucoba tidur
kian gelisah aku jadinya. Malam semakin larut. Walau tubuhku sampai
meliuk-liuk berputar ke sana-kemari setan kantuk itu tak juga kunjung
tiba. Miring ke kanan juga entah sampai beberapa kali, mataku tetap
terbuka. Putar ke kiri sudah tak terhitung banyaknya. Tengadah,
tengkurap hasilnya sama saja.
Sejak tadi lolongan anjing terdengar bersenandung. Lolongan
berkepanjangan itu laksana menyemarakkan hamparan cahaya bulan di hari
ketiga belas, menyelimuti seluruh muka bumi. Tiba-tiba seperti ada
naluri gaib aku rersentak di antara sadar dan tidak. Aku mendadak
bergerak. Tanganku refleks meraih destar yang tersimpan di bawah bantal.
Begitu saja destar itu langsung kukenakan sehingga menutupi seluruh
kepalaku.
Setelahnya timbullah suatu keanehan. Terasa badanku begitu
ringannya. Langkahku begitu gesit. Dan pandangan mataku dapat menembus
celah-celah kegelapan. Tenagaku berlipat ganda, seperti ada pihak lain
yang memberi kekuatan dan mengendalikan diriku.
Kemudian aku beranjak meninggalkan rumah. Langkah kakiku bagaikan
setengah terbang, tanpa menyentuh tanah. Gerakan yang hebat luar biasa.
Hanya sekejap saja aku telah berada di hamparan sawah dengan
batang-batang padi tumbuh subur meng hijau.
Sungguh amat ajaib di tempat yang sesunyi ini aku menemukan
kenikmatan. Luar biasa nikmat, nikmat sungguh, nikmat tiada tara. Bak
seorang Pangeran aku mandi sinar rembulan. Dielus terpaan angin semilir
dengan bunyi-bunyi batang padi mendesah. Terdengar irama syahdu suara
aliran air menerobos di celah pematang sawah.
Antara ada dan tiada aku bagai jatuh terpukau menemukan impian
nikmat seperti ini. Kegairahan hidup semakin merangsang. Sambil
bersenandung kecil aku bergerak lincah. Dengan gesit terbang ke
sana-kemari.
Ah, nikmat.... apa ini yang disebut arti hidup? Kalau memang inilah
kehidupan ku, tentulah apa yang kucari kini telah kudapati. Aku tidak
perlu susah-susah. Kalau lapar, makanan lezat telah tersedia
melimpah-ruah, begitu pula minuman tinggal mengambil saja. Segalanya
tersedia tinggal menikmari saja.
Subuh buta, di kala bintang Kartika mulai tersembul di kaki langit
sebelah timur, baru teringat olehku untuk kembali pulang. Sebelum aku
beranjak meninggalkan keindahan ini tanganku meraih sebuah nangka ranum
serta beberapa buah kacang panjang. Lumayan untuk persediaan makan esok
hari, pikirku.
Esok paginya aku terlambat bangun. Kiranya matahari telah jauh
merangkak meninggalkan ufuk timur. Aku menggeliat merentangkan otot-otot
tangan dan kaki. Seketika terasa seluruh badanku begitu lelahnya. Pelan
kelopak mataku mulai terbuka kemudian sorot mataku mengitari seluruh
ruangan.
Tiba-tiba aku terkejut begitu hidungku mencium bau tak sedap.
Baunya busuk luar biasa, seperti bau bangkai yang memenuhi seisi
ruangan. Tak ayal lagi serta-merta aku meloncat dari tempat tidur.
Mataku liar menyelusuri seluruh ruangan dan tak begitu lama kutemui dari
arah mana datangnya bau busuk itu.
Seekor bangkai anjing yang telah membengkak menjadi penyebabnya.
Bangkai anjing itu tampak kebiru-biruan dengan tetesan darah busuk
berserakan di lantai. Di sebelahnya menumpuk bangkai cacing sedang
dikeroyok beramai-ramai oleh gerombolan lalat.
Menyaksikan itu perutku langsung mual. Kepalaku pusing, pandangan
mataku berputar-putar. Aku berusaha lari ke luar, terbirit-birit. Di
halaman rumah seluruh isi perutku tumpah. Aku muntah sampai seluruh isi
perutku rasanya terkuras tandas. Entah sampai beberapa lama, akhirnya
otakku pelan-pelan jernih kembali. Aku bisa mengingat kembali apa yang
telah terjadi.
Hah.. waktu semalam aku berkelana di tengah sawah menikmati
keindahan. Aku telah menyikat berbagai makanan dengan lahapnya. Kiranya
makanan yang kutelan itu adalah makanan yang luar biasa berupa bangkai
segala jenis binatang yang telah membusuk. Ngeri, jijik, mengapa bangkai
anjing berubah menjadi sebuah nangka masak ranum dengan baunya
mengundang selera? Bangkai cacing berubah bentuk menjadi kacang panjang?
Dan bangkai entah apa lagi yang seketika berubah menjadi makanan lezat
mengundang selera begitu saja secara tiba-tiba?
Sekarang tobat, tobatlah aku. Sejak kejadian itu kutinggalkan dunia
malam dunia leak, karena yang kucari bukannya yang semacam ini. Dengan
perasaan gemas langsung kubakar hangus destar celaka itu, destar yang
membawa diriku ke dunia hitam, dunia leak. Ah, rupanya beginilah
rasanya kalau kita menjelma menjadi manusia leak. (cerpen oleh Iwan S)
1 komentar:
He he he..untng gk jadi selaq ekek...pernah juga sy di ceritain ma pedare niniq bini wkt kita liburan kesakre,
Posting Komentar