Timang Ayun-Ayun

     Cerita ini bukan khayalan belaka, tetapi benar-benar pernah terjadi. Hanya nama-nama mereka yang tersangkut dalam kejadian ini saya ganti dengan nama-nama fiktif sesuai permintaan yang bersangkutan. Peristiwanya terjadi baru kira-kira dua tahun yang lalu, menimpa diri seorang teman akrab saya bernama Kadir.
     Kala itu Kadir masih dalam suasana pengantin baru bersama istrinya, Nurjannah. Masih berbulan madu, begitulah. Meskipun bulan madunya tidak berlanglang-buana ke seantero jagad sebagaimana biasanya dilakukan oleh orang-orang golongan berduit tetapi cuma memanfaatkan masa cuti saja dengan bertandang ke rumah sanak famili. Namun demikian tidak mengurangi kesenangan masa-masa yang paling mengesankan itu.
     Pada suatu malam datang utusan dari ayah Kadir yang disuruh menemui saya, memberi kabar bahwa Kadir sakit.
     "Sakit?" saya bergumam hampir tak percaya. Soalnya baru seminggu yang lalu dia sehat walafiat duduk bersanding di pelaminan. Tetapi sebaliknya saya berpikir cepat pula. Kalau musibah mau datang kapan saja memang bukan mustahil. Kemarin sehat lalu hari ini nyawa dijangkau maut. Mati mendadak, kata orang, dapat saja terjadi.
     "Baiklah. Sebentar aku datang, kau pulang saja duluan", kata saya kepada anak muda yang menjadi utusan itu.
     "Jangan lama-lama, Bang. Soalnya ayah Bang Kadir berpesan betul, agar Abang datang secepatnya," kata anak muda itu.
     "Baik, baik. Aku segera ke sana", saya memutuskan.
     Anak muda itu pergi, saya berpikir keras. Tentu berat penyakitnya. Kalau tidak, takkan saya sampai disusul. Dan saya maklum mengapa saya diminta datang, berarti penyakit Kadir bukan penyakit yang harus diobati secara medis.
     "Kalau tak sanggup jangan dikerjakan, Bang", pesan istri saya waktu saya pamit menyatakan akan menengok Kadir yang dikabarkan sakit itu.
     "Jangan dipaksakan. Ingat, Abang baru mulai belajar. Kalau tak kuat, serahkan saja kepada Tok Guru", pesan istri saya seraya memberikan sepotong kunyit, kemiri, sahang dan sebilah pisau kecil dari baja murni.
     Pesan istri saya itu dapat saya maklumi. Saya memang baru mulai belajar berdukun dari Tok Guru. Jadi saya tak boleh mengada-ada.
     Hari telah menunjukkan hampir pukul dua belas tengah malam. Dingin malam memaksa saya melapisi tubuh dengan jaket tebal. Diawali dengan membaca Bismillahitawakaltu, saya melangkah turun dari rumah.
     Di ujung gang tempat tinggal mertua Kadir, tempat Kadir tinggal setelah menjadi suami Nurjannah, kedatangan saya disambut oleh Pak Iksan, ayah sahabat saya itu. Setelah mematikan kunci kontak motor dan menyandarkannya, Pak Iksan berkata dengan suara yang penuh kecemasan.
     "Cepatlah tengok si Kadir, mengapa dia jadi begitu".
     "Tenanglah, saya akan menengoknya. Kalau saya sanggup tentu akan saya bantu sepanjang kemampuan terbatas yang saya miliki. Di mana dia sekarang?" kataku dengan nada sugesti. Kami memasuki gang kecil sejauh kira-kira 300 meter untuk mendapatkan rumah Pak Hamid, ayah mertua Kadir.
     "Itu dia di sana", Pak Iksan menunjuk ke sebuah pojok di pekarangan rumah.
     Di pojok itu, di bawah sebatang pohon mangga, saya melihat sesosok tubuh yang mulai kehilangan wujud segarnya duduk herpeluk lutut. Dia, Kadir, sahabat karibku. Saya dekati dia, dia diam saja tak bereaksi.
     "Dir, apa kau buat di sini?" tegur saya. Tetapi dia tetap diam.
     "Ayo kita naik ke rumah. Tak baik malam-malam begitu berembun," sambung saya.
     "Takuuuuut . . . ", katanya menyahut.
     "Apa yang kautakutkan?" tanya saya.
     "Takuuut.."  katanya lagi.
     "Sudah berapa lama dia di sini, Pak?" tanya saya beralih kepada Pak Iksan.
     "Tiga hari, jadi mulai lima hari setelah malam resepsi perkawinannya", jawab ayah Kadir.
     "Selama itu apakah dia tidur di sini?"
     "Tampaknya dia antara tidur dan tidak, seperti tidur-tidur ayam. Kalau kami ajak naik ke rumah selalu dijawab dengan perkataan takut. Begitu pula kalau kami suruh makan, nasi yang kami sodorkan selalu dipandangnya dengan perasaan jijik dan dia menolaknya dengan perkataan takut".
     "Jadi selama itu dia tidak tidur dan tidak makan?"
     "Jangankan makan, minum pun dia tak mau", jelas Pak Iksan.
     Kepada Pak Iksan saya minta supaya orang-orang yang tidak berkepentingan yang berkerumun di sekitar pekarangan tempat Kadir berada, diusir saja. Pak Iksan memaklumi permintaan saya dan menyuruh mereka pergi. Hingga tinggallah saya sendiri, Pak Iksan, Pak Hamid mertua Kadir, dan anak muda yang tadi diutus memanggil saya.
     "Semalam kami kesal juga. Kami paksa beramai-ramai dengan mengangkatnya naik ke rumah, tetapi dia meronta-ronta dan kembali lagi ke tempat ini", jelas Pak Hamid.
     "Jangan dipaksa, tak ada gunanya", saya mengingatkan.
     "Apa yang kau takutkan, Dir?" saya coba memancing. Tetapi Kadir diam saja.
     "Nurjanah di mana?" tanya saya kepada Pak Hamid.
     "Di kamarnya. Tiga hari ini dia pun tak tentu tidur, menangis saja memikirkan suaminya", kata Pak Hamid.
     "Boleh saya menjenguknya sebentar?" saya minta izin.
     Setelah diperbolehkan, saya naik ke rumah bersama Pak Iksan dan Pak Hamid. Sedangkan si anak muda saya suruh menemani Kadir. Tetapi hampir saja anak muda itu saya tampar, karena tak mau menemani si Kadir dengan alasan takut.
     "Kalau kau takut, potong saja ***mu...!  jangan jadi laki-laki", bentak saya  Barulah dia mau menuruti perintah saya.
     Di kamarnya, kamar pengantin, saya mendapati Nurjanah sedang terisak-isak dikelilingi oleh ibunya, ibu Kadir, dan beberapa perempuan separuh baya lainnya. Kamar itu masih semerbak bau bunga rampai pewangi kamar mempelai.
     "Nur, ini Abang datang membawa kabar gembira. Kau jangan bersedih terus, penyakit suamimu tak sulit diobati. Dia segera sembuh", aku menghiburnya. Meskipun saya menyadari saya telah berbohong, sebab saya belum pasti tentang sulit tidaknya mengobati penyakit "takut tidur" dan "takut makan" si Kadir itu. Maklum baru sekali ini saya bertemu penyakit "takut" itu.
     Nurjanah agak tenang setelah saya minumkan air penenang hati, segelas air putih yang telah saya jampi-jampi.
     "Nur, Abang mau tanya. Adakah Nur pernah menjalin cinta dengan pemuda lain sebelum dengan Kadir? Atau apakah untuk mendapat Nur tempo hari, Kadir ada bersaing dengan laki-laki lain?" saya mulai mengorek keterangan untuk keperluan pertolongan terhadap sahabatku itu.
     Di sela-sela sedu sedannya, Nurjannah menggeleng-gelengkan kepala.
     "Kalau begitu apakah Nur pernah menyakiti hati orang lain?" Nurjannah juga cuma menggeleng.
     "Atau Nur tahu, barangkali Kadir pernah menyakiti hati orang lain?"
     "Nur tak tahu, Nur tak tahu...", katanya setengah berteriak. Memang pertanyaan ini seharusnya saya ajukan kepada Kadir tetapi dalam keadaannya yang saya nilai gawat, belum mungkin untuk menanyinya langsung.
     “Sudahlah. Sekarang Nur cabalah usahakan untuk tidur, agar Nur tidak jatuh sakit”, saya menasehatkan. Kemudian  mereka saya tinggalkan.
     Saya duduk di tangga rumah. Dengan pisau baja kecil yang tadi dibekali oleh istri, saya mencincang-cincang kunyit sambil menjampi-jampinya dengan beberapa potong ayat-ayat suci Al Quran. Disertai oleh Pak Iksan dan Pak Hamid, saya kembali menghampiri si Kadir yang masih ditunggui oleh anak muda penakut itu.
     "Dir, lihat ini", saya sodorkan kunyit itu tiba-tiba ke mukanya.
     "Jangan ... takuuuut ...", katanya merinding dengan menciutkan posisi duduknya yang berpeluk lutut.
     "Astagfirullah, positif dia kena guna-guna", ujar saya kepada Pak Iksan dan Pak Hamid.
     "Jadi bagaimana?" tanya Pak Iksan.
     "Cobalah bawa ke sini segelas air putih, beri sedikit garam", pinta saya. Setelah air yang diminta datang dan saya jampi-jampi, saya berikan untuk diminumkan kepada Kadir. Celakanya si Kadir tak mau meminumnya. "Takut", katanya. Tetapi saya kumur-kumur dan saya semburkan ke mukanya.
     "Sakit ...", kata Kadir lirih kena air semburan itu.
     Bingung juga saya. Guna-guna apa pula ini? Kalau kena polong, atau jenis tenung kiriman lain yang membuat korban tak sadar atau kemasukan, dapat dipancing dengan menanyainya dari mana asal usulnya. Tetapi yang seperti diderita Kadir, saya belum pernah menemui. Polong bisu pun bukan. Sebab Kadir masih sadar dan masih dapat bicara, walaupun cuma berkata "takut", "jangan" atau "sakit".
     "Pak Iksan, Pak Hamid. Saya minta waktu kira-kira empat puluh menit untuk menjemput seseorang yang saya rasa layak untuk menyembuhkan si Kadir", ujar saya kemudian.
     "Bapak-bapak tunggu saja di sini. Mudah-mudahan cuaca baik, kalau turun hujan kasihan juga si Kadir", kata saya.
     Saya harus memberi tahu Tok Guru, bahwa seorang sahabat karib saya telah menjadi korban guna-guna aneh. Ada pun yang saya maksud dengan Tok Guru, adalah seorang laki-laki berusia 80 tahun, saudara sepupu datuk (kakek) saya sendiri. Beliau seorang dukun yang disegani, dukun dalam pengertian kebajikan, bukan dari kalangan dukun black magic. Nama beliau sendiri Syarif Abdurrakhman Alaydrus, tetapi oleh murid-muridnya biasa dipanggil Tok Guru, karena beliau juga guru mengaji. Sehingga kekallah khalayak yang mengenal beliau memanggilnya dengan sebutan Tok Guru. Meskipun usia beliau sudah mendekati 80 tahun, tetapi langkahnya masih tegap. Matanya belum rabun, telinganya masih terang mendengar, hanya mata sudah cekung dan kulit keriput oleh tua usia. Sedikit-sedikit beliau ada menurunkan ilmu kebajikan untuk saya. Tidak kepada sembarang orang Tok Guru mau mengajarkan ilmu kebajikan itu. Maksudku kepandaian untuk mengobati orang yang terkena guna-guna atau memberi pekasih kepada orang yang biasanya selalu kurang bernasib mujur.
     Dengan mengebut motorku, dalam tempo seperempat jam kemudian saya telah sampai di rumah Tok Guru. Mudah-mudahan Tok Guru tak ada halangan, sehingga dapat saya bawa melihat keadaan si Kadir.
     Tak payah saya menggedor pintu rumah Tok Guru. Begitu kaki menginjak anak tangga rumahnya, Tok Guru muncul menguakkan daun pintu.
     "Maaf, Tok. Ulun mengganggu," ujar saya masih di tangga rumah. (ulun= saya).
     "Naiklah sebentar, aku sudah tahu maksud kedatanganmu. Kawan kau itu memang perlu bantuanku," kata Tok Guru.
     "Bagaimana Tok Guru tahu?" tanya saya heran. Sebab saya belum bercerita tentang maksud kedatangan saya, tetapi Tok Guru telah tahu lebih dahulu.
     "Itulah yang dinamakan kontak batin. Beberapa saat tadi, kau sebagai muridku mempunyai niat akan datang menemuiku untuk minta dukungan, karena kau belum sanggup mengatasi persoalan ini. Hatimu mengatakan, hanya Tok Guru yang sanggup mengatasi persoalan sahabatmu itu. Nah, secara tak langsung kau telah berbicara kepadaku untuk meminta bantuan. Begitulah. Tunggu sebentar", Tok Guru melangkah masuk. Tinggal saya terbingung-bingung duduk di tangga rumah.
     Saya, kagum kepada Tok Guru. Sayang beliau hanya mau menurunkan kepandaiannya sangat minim kepadaku, alasan beliau karena saya masih terlalu muda, baru berumur 33 tahun.
     "Kalau sudah berumur empat puluh tahun ke atas, bolehlah kutambah-tambah sedikit lagi", kata Tok Guru begitu muncul di ambang pintu. Agaknya beliau mengetahui kerisauan hati saya tentang ketidakpuasan saya akan kepandaian yang minim yang beliau turunkan. Tetapi Tok Guru sendiri menurut cerita, sejak berumur 20 tahun sudah mewarisi kepandaian ilmu Kebajikan dari almarhum abah (ayah)nya. Mengapa Tok Guru ragu-ragu menurunkan ilmunya kepada para anak cucunya? Beliau pernah bercerita kepada saya, bahwa beliau khawatir akan disalahgunakan.
     Tak sampai empat puluh menit yang saya janjikan, kami telah berada kembali di pekarangan rumah ayah Nurjannah. Sepanjang jalan tadi telah saya ceritakan keanehan-keanehan yang menimpa diri Kadir kepada Tok Guru yang duduk tenang-tenang dibocengan motorku.
     Setelah berkenalan dan berbasa-basi sekedarnya dengan Pak Iksan dan Pak Hamid, kami langsung mendekati Kadir yang masih meringkuk di bawah pohon mangga. Tampak ia semakin kedinginan, waktu telah menunjukkan pukul 01.00 dinihari.
     Tok Guru jongkok di hadapan Kadir. Lalu secara tiba-tiba saja Tok Guru menampar pipi Kadir kiri dan kanan. Mengaduh tidak, merintih pun tidak ia oleh tamparan itu. Kadir cuma semakin menciutkan diri saja.
     "Jadi dia takut naik ke rumah? tanya Tok Guru kepada ayah Kadir.
     "Ya, selain itu dia juga takut melihat nasi dan bantal", kata Pak Iksan.
     "Coba minta sebuah bantal", perintah Tok Guru.
     Perintah itu saya teruskan kepada si anak muda tadi yang rupanya saudara sepupu Kadir. Dia berlari naik ke rumah dan tak lama turun lagi membawa sebuah bantal yang diterima oleh Tok Guru.
     "Dir, tidurlah", kata Tok Guru sambil menyodorkan bantal itu kepada Kadir.
     "Takut ....takut ...", Kadir menutup mata dengan lengannya.
     "Ada nasi yang masih tersisa di subuh begini?" tanya Tak Guru pula. Setelah ditanyakan ke rumah, untunglah masih ada tersedia nasi dan sisa lauk pauknya. Satu piring nasi yang lengkap dengan lauknya disediakan dan diserahkan kepada Tok Guru. Tok Guru memberikan nasi itu kepada Kadir.
     "Makanlah, Dir. Tiga hari, sudah kau tidak makan dan tidak tidur, bisa mati kelaparan kau", kata Tok Guru mencoba berkomunikasi dengan Kadir.
     "Takut . . . Kadir lagi-lagi menyatakan takut setelah melihat nasi yang disodorkan Tok Guru.
     "Astagfirullah al adzim.." gumam Tok Guru.
     "Mengapa, Tok?" bisik saya di telinga Tok Guru.
     "Dia ditenung orang, timang ayun-ayun", bisik Tok Guru.
     "Timang ayun-ayun itu apa?" saya ingin lekas tahu.
     "Nanti kalian juga akan tahu", jawab Tok Guru singkat.
     Setelah itu Tok Guru mengajak kami semua naik ke rumah dan membiarkan Kadir sendirian di bawah pohon mangga itu.
     "Untung belum terlambat benar saya diberi tahu. Insya Allah dalam empat atau lima hari ini jika anak itu kuat tak makan dan tak tidur, tak akan membawanya sampai ke jurang maut", ujar Tok Guru setelah minum beberapa teguk kopi dan menikmati pisang goreng yang disuguhkan.
     "Tetapi malam ini saya belum bisa mengobatinya. Saya harus mempersiapkan sesuatu dulu di rumah. Insya Allah penyakitnya gampang disembuhkan dengan perkenan Allah,    lanjut Tok Guru tanpa menjelaskan "sesuatu" apa yang akan dipersiapkannya.
     "Kita tunggulah besok malam", ujar Tok Guru pula.
     Besok malamnya kami telah berada kembali di rumah Pak Hamid. Satu masalah lain yang harus kami hadapi ialah menghindarkan pengobatan yang akan dilakukan oleh Tok Guru dari tontonan orang ramai. Tetapi dengan suatu kekuatan batin dan sorot mata yang tajam, Tok Guru berhasil memerintah pasiennya untuk pindah ke tempat yang dikehendaki oleh Tok Guru. Kadir lari ke sebuah sudut di pekarangan belakang, di dekat sebuah perigi (sumur).
     "Tok, kalau dapat dipindahkan ke tempat lain begini, mengapa Tok Guru tidak dapat memerintahkannya supaya mau naik ke rumah dan tidur atau makan?" tanya saya penasaran.
     "Itu lain persoalan, tak segampang yang kaukira", jawab Tok Guru acuh tak acuh.
     Hanya saya yang diperkenankan hadir oleh Tok Guru untuk menemaninya dalam upacara pengobatannya. Pak lksan walaupun ayah kandung Kadir sendiri, tak diperkenankan ikut serta. Tok Guru khawatir terjadi hal-hal yang tak diingini bila keluarga korban mengetahui siapa orang jahil yang telah menyakiti korban.
     Setelah mencelupkan sebilah pisau baja kecil ke dalam semangkuk air putih yang telah dijampi-jampi, Tok Guru memberi isyarat yang saya mengerti. Lalu saya jongkok di belakang Kadir yang duduk bertekuk lutut dengan muka pucat dan tubuh yang cepat sekali telah menjadi kurus. Kemudian Tok Guru menyemburkan air itu ke ubun-ubun Kadir, membuat dia lunglai dan jatuh terguling ke dalam pelukan saya yang telah berjaga-jaga di belakangnya. Lalu saya lepaskan dia tergeletak di sisi perigi.
     "Bismillahirahmanirakhim...” desis Tok Guru.
     Tok Guru lalu membakar kemenyan putih di tempat bara yang sebelumnya telah kami persiapkan. Reaksi pertama, Kadir bangkit duduk bersila. Kedua belah tangannya bertelekan pada kedua ujung lututnya.. Matanya liar menyala-nyala, lalu tak beralih menentang pandangan mata Tok Guru. Tetapi kemudian mata itu menjadi layu bagaikan terkantuk-kantuk oleh tentangan mata Tok Guru.
     "Timang-timang ... ayun-ayun ... temiang bulun berayun-ayun. Buang buang ... kekasih buang ... buang sayang jauh-jauh ... ", Kadir menyanyi terangguk-angguk. Tetapi yang terdengar bukan suaranya sendiri, melainkan suara seorang perempuan tua. Berdiri segenap bulu di tubuhku bila mengingat kejadian malam itu.      "Heh! Kau perempuan tua, berhentilah menyanyi. Siapa kau ini sesungguhnya? Siapa yang sedang kautimang?" tanya Tok Guru kepada perempuan tua yang menyusup di tubuh Kadir. Sesungguhnya, jasad Kadir yang sedang sakit itu berkat ketangguhan Tok Guru, berhasil dikosongkan dari rohnya sendiri dan digantikan oleh setan yang menyaru sebagai roh perempuan tua yang berhasil diundang oleh Tok Guru. Perempuan tua itu adalah dukun jahat yang sedang menganiaya Kadir. Apa-apa yang dikatakan oleh Kadir pada saat-saat itu begitu pula yang diucapkan oleh perempuan tua yang entah di mana itu membuat Tok Guru segera menggunakan "ilmu kundang"nya.
     "Heh ... heh ...", Kadir tertawa dengan suara perempuan tua yang amat menyeramkan. "Aku sedang menimang Kadir, cucuku".
     "Untuk apa kautimang-timang?" tanya Tok Guru, sementara mataku tak lepas-lepasnya memperhatikan Kadir yang berubah mirip perempuan tua baik suara maupun gerak-geriknya.
     "Supaya cucuku tak dapat tidur", jawab Kadir.
     "Lalu yang akan kaubuang jauh-jauh?" tanya Tok Guru pula.
     "Hatinya...".
     "Mengapa mesti begitu?"
     "Entahlah".
     "Mengapa kau tak tahu?"
     "Aku cuma disuruh".
     "Disuruh siapa?" kejar Tok Guru.
     "Rahasia ... heh ... heh ... ".
     "Kalau kau merahasiakannya, berarti kau tidak bersedia bekerja sama dengan Tok Guru. Mau kau jadi musuh Tok Guru?" ancam Tok Guru.
     "Jangan .. Tok Guru kuat ... ", jawab nenek tua yang tak lain setan gambaran roh nenek tua yang menyaru ke dalam tubuh Kadir.
     "Kalau begitu sebutkan, siapa yang menyuruhmu!"
     Nenek tua itu menyebutkan nama seorang laki-laki.
     "Kau sendiri siapa?" tanya Tok Guru.
     "Aku Mariam", jawabnya.
     "Di mana kau tinggal?"
     "Timang-timang... ayun-ayun ... temiang buluh berayun-ayun. Buang-buang ... kekasih buang ... buang sayang jauh-jauh ..", Kadir menyanyi lagi dengan suaranya yang khas tak menghiraukan pertanyaan Tok Guru yang terakhir.
     "Kalau kau mau selamat, sebaiknya kita bekerja sama. Sebuatkan di mana kau tinggal. Atau kubunuh kau!" ancam Tok Guru dengan gerakan seolah-olah akan menghunjamkan ujung pisaunya ke dalam air putih di dalam mangkuk.
     "Ampun..! Jangan bunuh aku. Aku tahu kau lebih kuat dari aku ...", jerit perempuan tua di tubuh si Kadir.
     "Baiklah! Sekali ini kau kuberi ampun, cepat tunjukkan di mana kau tinggal", perintah Tok Guru masih dalam sikap mengancam.
     "Baiklah. Tetapi janji, Tok Guru tak akan membunuh Mariam. Mariam cuma mengambil upah untuk beli sirih", ujar Kadir yang kerusupan dengan suara lirih minta-minta ampun.
     "Tok Guru bukan pembunuh, setan! Tok Guru bukan sebangsa kalian!" bentak Tok Guru marah.
     "Rumahku di..di balik pohon buluh... di...", dengan jelas perempuan itu menyebutkan alamat rumahnya.
     "Baiklah. Aku telah berjanji tidak akan membunuhmu tetapi kau akan berhadapan dengan Tok Guru ..!”, ujar Tok Guru seraya menghela napas dalam-dalam. Lalu Tok Guru memberi suatu isyarat lagi kepadaku. Kembali aku berjaga-jaga di belakang Kadir yang lagi-lagi berdendang "Timang ayun-ayun". Tok Guru komat kamit, entah ayat apa pula yang diserapahkannya. Lalu tiba-tiba "gedebab", Kadir tergolek di pangkuan saya. Dengan tubuh bersimbah peluh, Kadir sadar kermbali dan duduk seperti semula berpeluk lutut sambil meracau terus, "Takut..." katanya.
     "Sudahlah. Sebentar lagi kau tidak akan takut lagi", ujar Tok Guru sambil mengusap-usap kepala sahabat karibku itu.
     "Kita undang jahanam itu", ujar Tok Guru kepada saya dengan suara geram. Sementara itu waktu telah menunjukkan pukul dua belas tengah malam.
     "Apa pun yang nanti kaulihat jangan ditegur", pesan Tok Guru sambil mengambil ancang-ancang duduk di sisi Kadir yang meringkuk bersandar di dinding perigi. Beliau menyuruh saya duduk rapat¬rapat di sisinya.
     Entah ayat-ayat apa yang dibaca Tok Guru dari kitab suci Al Quran, tak jelas terdengar. Hanya setelah itu Tok Guru berpesan mengingatkan sekali lagi agar saya tidak menegur apa pun yang nanti terjadi.
     "Datanglah ... datanglah ...", dengus Tok Guru kemudian terus-menerus dan sambil terus pula membakar kemenyan putihnya. Ada kira-kira hampir satu jam Tok Guru mendengus begitu tanpa letih-letihnya. Keringat bercucuran membasahi dahi dan sekujur wajah Tok Guru.
     "Ngeong ...", tiba-tiba saja seekor kucing hitam melesat di hadapan kami, entah dari mana datangnya. Hampir hilang semangat saya karena terkejutnya, syukur saya teringat pesan Tok Guru untuk tidak membuat reaksi apa pun terhadap apa yang terjadi. Tok Guru sendiri tak menghiraukannya, beliau terus saja memanggil-manggil, "Datanglah...datanglah...”
     Sesaat kemudian kucing hitam yang menyeringai garang di hadapan kami itu lari menghilang ke balik semak-semak di belakang rumah Pak Hamid. Lalu sayup-sayup terdengar suara nyanyi perempuan tua persis seperti yang tadi keluar dari mulut Kadir.
     ”Timang-timang, ayun-ayun...temiang buluh berayun-ayun.. Buang buang kekasih buang.., buang sayang jauh-jauh...". Dan suara perempuan tua yang menyanyi itu semakin mendekat sementara Tok Guru masih terus dengan "kundang"nya (mengundang), "datanglah... datanglah .. ". Kemudian di suatu tempat di semak-semak belakang rumah, saya lihat bergerak-gerak dan seperti dikuakkan orang. Seorang perempuan tua tampak terseok-seok datang sambil menyanyi "Timang ayun-ayun.. ". Tangan perempuan itu memeluk sesuatu seperti sedang menimang bayi. Tok Guru menghela napas dalam-dalam dan tak lagi memanggil-manggil dengan "kundang" nya.
     Perempuan tua yang lewat perantaraan Kadir yang kesurupan tadi mengaku bernama Mariam itu berhenti menyanyi. Sejenak ia memandang kepada Tok Guru, lalu menatap wajah saya. Saya tak mau kalah, saya balik menantang matanya yang tajam kemerah-merahan.
     "Ampunkan saya Tok Guru", kata perempuan tua itu dengan suara yang gemetar lalu memberikan benda yang ditimang-timangnya.
     "Sekali ini saja kau kuampunkan. Sekali lagi kau mengerjakan perbuatan terkutuk seperti ini, awas!" hardik Tok Guru. Mariam bersimpuh, berlutut di hadapan Tok Guru.
     Saya tak sempat melihat dengan jelas benda apa yang diberikan perempuan tua kira-kira berumur 60 tahun itu kepada Tok Guru. Karena begitu benda itu sampai ke tangan Tok Guru, langsung disembunyikan ke balik kain sarung yang diselendangkannya di bahunya. Tetapi benda yang semacam lagi dibiarkan oleh Tok Guru tergeletak di pangkuannya, benda itu ialah mayang pinang.
     "Apa lagi yang akan kau perbuat setelah ini Mariam?" tanya Tok Guru kepada Nek Mariam.
     "Izinkan aku pulang, Tok. Bukan pulang ke rumah", jawabnya.
     "Lalu pulang ke mana?"
     "Ke kampung kelahiranku".
     "Di mana itu?"
     Mariam menyebutkan kampung halaman tempat dia dilahirkan, sebuah kota kecil kecamatan di sebuah kabupaten sebelah tenggara Kalimantan Barat.
     "Baiklah, kau boleh pulang. Tetapi hentikan perbuatan-perbuatan begini, jangan lagi kau ulangi. Pada usiamu yang setua ini, yang terbaik kau lakukan ialah mendekatkan diri kepada Allah. Bangunlah..", nasihat Tok Guru.
     Nek Mariam bangun dari sujudnya. Saya lihat air matanya menitik.
     "Nah, pergilah...", perintah Tok Guru sambil mengibaskan mayang dari Nek Mariam tadi ke kepala Nek Mariam. Seperti tersentak dari tidur yang lelap, Nek Mariam melihat ke kiri dan kanan, melihat Tok Guru dan saya, lalu menunduk kemalu-maluan. Kalau yang tersipu-sipu itu seorang gadis remaja tentu akan membuat kita menjadi gemas, tetapi karena yang melakukannya seorang nenek tua yang keriput, bukan main mengerikannya. Ditambah pula angin malam mengembus dingin.
     Nek Mariam berdiri lantas pergi dengan langkah terseok-seok dan menghilang di balik semak-semak.
     “Kau lihat langkah perempuan tua itu?” tanya Tok Guru.
     “Ya, langkahnya tak lurus, tetapi bersilang-seling”, jawab saya.
     “Perempuan tua itu akan mati bangkit kalau sampai ajalnya nanti”, kata Tok Guru.
     Tok Guru mengajak saya  naik ke rumah. Sebelumnya beliau berpesan. “Ingat, kalau ada yang ingin tahu, jangan sekali-kali kau buka rahasia siapa orang yang hendak mencelakakan si Kadir. Apakah itu nenek tua tadi atau pemuda yang menyuruhnya, jangan kau katakan. Bilang saja tak mengerti atau suruh dia menanyakan langsung kepada Tok Guru”, begitu pesan Tok Guru dengan tandas.
     “Tetapi bagaimana dengan pemuda yang menyuruh nenek tua itu, kita apakan dia?” tanya saya sekadar ingin tahu.
     “Biarkan saja, dia kelak akan menjadi urusan nenek tua itu sendiri. Jangan kita mengadakan pembalasan terhadap orang yang mengguna-gunai orang yang kita tolong. Sekarang yang penting tugas kita sudah hampir selesai, menyelamatkan nyawa sahabat karibmu dari kematian dengan cara yang dikehendaki musuhnya”, kata Tok Guru.
     Sebenarnya masih ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan, tetapi Tok Guru sudah memutuskan demikian, apa boleh buat. “Biarkan saja pemuda itu seterusnya menjadi urusan nenek tua itu.. “ Senjata makan tuan? Wallahu a’lam bissawab.
     Di rumah ayah mertua Kadir, kami berkumpul di sebuah ruangan. Tok Guru, saya sendiri, Pak Hamid, Pak Iksan, beberapa orang lain, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah diizinkan oleh Tok Guru berkumpul bersama-sama untuk melihat sesuatu. Dari balik selendang kainnya, Tok Guru mengeluarkan sesuatu yang tadi beliau terima dari nenek dukun jahat itu. Sesuatu itu adalah semacam boneka yang terbuat dari tanah liat dan dibungkus kain putih mirip kain kafan pembungkus jenazah. Sedangkan pada wajah boneka tanah liat sebesar lengan itu, setelah kain kafannya dibuka, tampak melekat sehelai foto si Kadir. Sedangkan di perut boneka tertulis nama Abdul Kadir bin Muhammad Iksan dengan huruf Arab.
     “Astagfirullah...”, desis Pak Iksan dan Pak Hamid hampir bersamaan. Foto si Kadir oleh Tok Guru dikembalikan kepada ayahnya dan disuruh simpan baik-baik jangan sampai jatuh lagi ke tangan orang jahat.
     “Makanya jangan sembarangan memberikan foto kepada orang. Jangan sembarangan membuang kuku atau rambut. Foto, kuku, rambut, adalah benda-benda sensitif yang mudah dijadikan bahan untuk tenung”, pesan Tok Guru mengingatkan.
     “Perbuatan siapa semua ini, Tok?” tanya Pak Iksan dengan nada tinggi pertanda emosi.
     “Sudahlah. Hal itu kalian tak perlu tahu. Kalau kalian ingin memperpanjang juga, maka persoalannya tak akan ada habis-habisnya. Pertumpahan darah bukan mustahil dapat terjadi. Sebaiknya kita lupakan saja peristiwa itu, yang penting si Kadir selamat. Serahkan saja selanjutnya kepada perlindungan Allah. Nah, sekarang kalian sudah boleh menjemput si Kadir di dekat perigi itu dan bawa dia ke hadapanku”, perintah Tok Guru kepada Pak Iksan dan Pak Hamid. Tak lama kemudian Pak Iksan dan Pak Hamid muncul sambil memapah si Kadir dalam keadaan lemah dan baru saja hilang dari pengaruh jahat Nenek Mariam. Tak sepatah pun kalimat yang keluar dari mulut Kadir, hanya matanya saja yang berbicara melihat kami satu per satu seolah-olah bertanya, apa yang telah terjadi?
     Tok Guru memberinya segelas air putih yang sudah dijampi-jampi. Kadir meminumnya sampai habis. Bukan main hausnya dia. Lalu Tok Guru menyuruh panggilkan Nurjannah.
     “Bawalah suamimu ini, dia sudah sembuh”, ujar Tok Guru kepada Nurjannah kemudian.
     Dengan berderai air mata Nurjannah memeluk suaminya. Begitu pula Kadir, dengan lesu balas merangkul istrinya.
     “Cukup..cukup... Antar si Kadir ke dalam kamar, biar dia beristirahat dulu”, kata Tok Guru kemudian.
     Kadir ditemani istrinya diantarkan orang ke dalam kamarnya yang masih berbau kamar pengantin. Ada yang akan memberi si Kadir makan, tetapi dicegah oleh Tok Guru.
     “Besok saja kalau mau diberi makan, boleh sekenyang-kenyangnya”, kata Tok Guru. Selanjutnya Tok Guru memerintahkan untuk membuang boneka tanah liat dan mayang tadi ke tengah laut.
     “Kalau boleh kami bertanya”, tiba-tiba ujar Pak Hamid, “apa sebenarnya yang menjadi tujuan orang berbuat jahat terhadap menantu saya?”
     “Kalau itu yang menjadi pertanyaan, bolehlah saya jawab”, kata Tok Guru. “Tenung atau guna-guna ini namanya timang ayun-ayun. Sebab boneka yang dilambangkan sebagai tubuh orang yang dikehendaki menjadi korban, ditimang dan diayun-ayun bersama sekeping mayang pinang sambil dinyanyikan oleh dukun jahat suruhan musuh si korban. Guna-guna timang ayun-ayun ini sudah langka sekali, hanya orang-orang tua saja yang pernah bertemu dengan tenung itu”, jelas Tok Guru.
     “Tetapi sepanjang tahu kami, anak saya tak pernah mempunyai musuh”, potong ayah si Kadir.
     “Tentang punya atau tidak punya musuh entahlah.. wallahu a’lam..”, sela Tok Guru.
     “Apa akibat dari tenung timang ayun-ayun itu, Tok Guru?” tanya saya.
     “Yang jelas korban akan takut naik ke rumah, takut bantal dan takut nasi”, lanjut Tok Guru.
     “Coba kalian bayangkan, apa jadinya bila seseorang takut bantal dan tak bisa tidur berhari-hari, takut nasi sehingga tak mau makan sampai berhari-hari. Suatu siksaan perlahan-lahan yang akan membuat orang itu mati kelaparan, mati karena tidak makan dan tidak tidur..”, jelas Tok Guru.
     Ayam jantan terdengar berkokok bersahut-sahutan pertanda fajar sebentar lagi menyingsing. Tanpa kami sadari rupanya cukup lama kami berhal-ikhwal dengan yang hadir mengelilingi Tok Guru. Menjelang salat subuh ketika Tok Guru pamitan akan pulang, Pak Iksan menyelipkan amplop berisi uang ke dalam saku baju Tok Guru. Tetapi cepat dikembalikan lagi oleh Tok Guru.
     “Saya cuma menolong karena lillahi ta’ala..”, ujar Tok Guru.
     “Kalau saya tolak uang ini berarti saya takabur. Makanya sekarang saya berikan lagi dengan harapan untuk disedekahkan saja kepada yang lebih memerlukan..”, lanjut Tok Guru.
     Tok Guru hanya minta sebatang jarum dan sedepa kain kuning sebagai ‘pengeras’ dari orang yang telah beliau sembuhkan.
     Bagaimana pula nasib nenek dukun dan anak muda yang diam-diam telah menjadi musuh si Kadir? Wallahu a’lam.

cerita disampaikan oleh
Effendy Asmara Zola.
diterbitkan dalam bentuk hardcopy
di majalah SENANG 0530, th 1982. 

0 komentar:

Posting Komentar