Sigulambai

     Suatu tradisi, walau bagaimanapun jeleknya, tetap dipertahankan. Demikianlah yang terjadi di tanah air ini. Terutama yang kuketahui, di desa tempat aku berdomisili. Tradisi itu tidaklah selamanya ada sangkut-pautnya dengan adat, begitu juga dengan agama. Tetapi hanya merupakan kebiasaan yang terus berjalan sejak beberapa generasi sebelumnya. Tradisi yang satu ini adalah tradisi duduk di kedai kopi. Berada di kedai kopi, tak ubahnya  bagai  suatu keharusan untuk kelengkapan hidup seorang laki-laki. Rasanya belumlah lengkap menjadi seorang laki-laki tanpa duduk berleha-leha di kedai kopi.
     Sejak datangnya Subuh, sebagian dari laki-laki di desaku bukannya memenuhi panggilan azan dari masjid dan langgar tetapi berubah merupakan panggilan untuk hadir di kedai kopi. Karena dengan terdengarnya azan Subuh, suatu pertanda juga bahwa kedai-kedai kopi telah mulai dibuka, siap menyuguhkan kopi panas.
     MEMANG suatu kenikmatan di desa yang berhawa sejuk, jika dapat meneguk segelas kopi panas. Biasanya, entah ini juga suatu tradisi, mereka mendatangi kedai kopi tanpa terlebih dahulu mandi. Cukup berkumur-kumur saja, kemudian mengusap wajah dengan air dan kain sarong yang dikelumunkan ke tubuh berfungsi juga sebagai handuk untuk mengelap wajah yang telah diusapi air itu. Kemudian jongkok di balai-balai yang tersedia di kedai kopi itu. Hal ini juga merupakan pelengkap kenikmatan daripada duduk di kursi menghadapi meja. Kurang leluasa rasanya.
     Sambil menghirup kopi panas, lalu mulailah bercerita. Pertama cerita tentang sekitar desa dengan segala tetek bengeknya. Dan cerita ini meningkat ke soal politik. Mulai dari politik di desa sampai negara bahkan dunia. Dari mulai balairung cerita itu akan beruntun terus sampai cerita ke Gedung Putih di Amerika.
     Inilah tradisi buruk di kalangan masyarakat desaku. Aku yang pernah sedikit menginjak bangku sekolah dapat menilai bahwa tradisi itu adalah tradisi yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Tetapi apakah aku dapat menghapus tradisi itu? Pasti beribu makian akan menyerangku kalau aku berani menjelekkan tradisi itu. Bisa saja aku dicap sebagai orang yang tidak beradat, tidak menghargai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Padahal tradisi itu harus dipertahankan, agar tidak tergilas oleh modernisasi dunia saat ini.
     Jangan Anda heran, jika saat itu - pada masa dasawarsa enam puluhan - melihat warga desaku baru melangkahkan kaki ke sawah setelah beberapa saat lagi waktunya makan siang. Baru beberapa kali mengayunkan cangkul maka keluarganya telah datang untuk datangnya makan siang, tentunya harus dimanfaatkan. Siap makan, beristirahat lagi sambil menggulung rokok daun enau.
     Rasanya aku sudah terlalu banyak menceritakan kejelekan yang ada dalam masyarakat desaku. Sebenarnya tindakanku itu tak ubahnya menepuk air di dulang, yang terciprat mukaku sendiri. Apa boleh buat. Rasanya tanpa menceritakan tradisi ini, maka tidaklah lengkap kisah yang akan kuceritakan kepada Anda.
     Kisah ini dimulai ketika aku sedang berada kedai kopi bersama laki-laki lain di desaku. Walaupun tradisi jelek itu tidak kusukai; namun aku merasa kurang enak bila tidak termasuk ke dalam kelompok laki-laki di desaku. Apa boleh buat, terpaksa aku jadi munafik. Tetapi bedanya aku datang ke kedai kopi setelah selesai menunaikan kewajibanku sebagai hamba Tuhan. Pulang dari masjid barulah aku menuju kedai kopi. Di sana aku menjadi pendengar yang baik. Apalagi karena aku tidak punya pengetahuan banyak tentang politik, sebab aku hanya bersekolah di Mualimin. Di sana tidak diajarkan masalah politik kecuali agama saja.
     Kulihat gelas kopi beberapa pengunjung sudah tidak berbentuk kopi lagi, karena telah berkali-kali ditambah dengan air panas, sehingga airnya telah menjadi bening dengan ampas kopi di dasar gelas.
     Kira-kira pukul sepuluh, ketika aku merasa telah tiba saatnya untuk berangkat ke kebun pala peninggalan mendiang kakekku, aku beranjak meninggalkan kedai kopi. Baru saja aku berdiri di ambang pintu kedai kopi untuk melangkah ke luar, kulihat benda merah yang melayang di udara. Benda yang merah seperti api itu hampir menyerupai burung yang terbang. Tidak begitu besar, sekitar sebesar burung merpati. Benda merah itu melintas dengan cepat sekali ke arah selatan. Aku tertegun melihatnya. Seseorang di sampingku berdiri mendesis setengah berbisik, "Sigulambai
     "Apa itu, Pak?" tanyaku tak mengerti, karena nama itu baru pertama kali kudengar.
     "Sigulambai, api kiriman. Akan ada rumah orang terbakar."
     "Oleh sigulambai itu?"
     "Ya!"
     "Apakah sigulambai itu burung, Pak?"
     "Bukan! Itu adalah induk api yang dikiirim orang untuk membakar rumah orang yang ditujunya. Kau melihat di arah mana sigulambai tadi turun?"
     "Tidak. Apakah Bapak melihatnya?"
     "Tidak. Hanya arah ke selatan. Kita tunggu saja, rumah siapa yang akan terbakar," ujarnya.
     Orang-orang dari dalam kedai kopi meneriaki kami menanyakan apa yang kami lihat, karena aku dan Pak Salam lama berdiri di ambang pintu.
     "Sigulambai!" jawab Pak Salam dengan berseru.
     "Apa? Sigulambai?"
Maka ramailah orang berkumpul di depan kedai kopi.
     "Ke mana arahnya?" tanya salah seorang.
     "Ke selatan!"
     "Kenapa kita bengong saja berdiri di sini? Mari kita ke selatan biar kita ketahui rumah siapa yang akan terbakar."
Rupanya kini Pak Maruhun pun ti­dak waspada. Buntalan itu tepat mengenai wajahnya dan langsung berubah menjadi gumpalan api.
Tanpa menunggu komando lebih lanjut, kami, aku dan beberapa orang lainnya, bergerak menuju ke arah perginya sigulambai itu.
     "Lihat!" seru seseorang lagi. "Lihat itu asap, sudah ada kebakaran. Betapa cepatnya sigulambai itu menemukan mangsanya."
     Kami sama-sama melihat asap hitam yang mengepul ke udara. Dengan berlari kami menuju ke arah asap itu mengepul. Sambil berlari kami terus berteriak-teriak, "Api! Api!"
     Rombongan semakin ramai menuju ke arah tempat kebakaran itu. Asap yang mengepul hitam mengingatkanku kepada asap cerobong kereta api di Bukittinggi. Ketika aku dan para penduduk telah sampai di tempat kebakaran itu, kusaksikan betapa ganasnya api melalap rumah Pak Radain yang terbuat kayu kecuali atapnya.
     Suara seng atap itu berderak-derak dan meliuk-liuk karena terbakar. Beberapa orang telah mulai sibuk menyiramkan air yang ada pada tebat tidak jauh dari rumah yang terbakar itu. Dan yang lainnya memagari rumah di sekitar rumah itu dengan batang pisang sebagai pengalang agar jangan sampai disambar api.
     "Kurasa sigulambai itu belum lagi kembali!" seru Pak Salam mengatasi keriuhan suara orang yang sibuk melawan amukan api itu.
     "Apa? Sigulambai?" tanya orang dengan heran.
     "Ya! Aku sendiri menyaksikan ada sigulambai terbang ke arah sini tadi."
     "Tolong Pak Salam mungkin dapat menangkapnya," kata Engku Palo, panggilan untuk kepala desa, yang juga telah hadir di tempat itu.
     "Akan kuusahakan, Engku," jawab Pak Salam.
     "Kita harus mengetahui siapa biangnya. Kalau orang itu dibiarkan saja mungkin tidak hanya rumah Pak Radain yang akan jadi sasaran."
     "Ya, Engku."
Kemudian Pak Salam melihat ke arahku. "Hei anak muda, siapa namamu?" "Tan Baro, Pak."
     "Coba kaucarikan sebuah tempurung yang tidak bermata," katanya kepadaku.
    "Ya, Pak," jawabku sambil terus bergerak untuk mencari tempurung yang dimaksud Pak Salam itu. Setelah kudapat, langsung kuserahkan kepadanya. Secepat kilat tempurung itu disambarnya. Kemudian kulihat mulutnya berkomat-kamit entah apa yang dibacanya. Setelah itu tempurung itu dilem¬parkannya ke arah amukan api yang melalap rumah itu.
     "Biasanya sebelum dia pergi, api ini tidak akan dapat dipadamkan. Apakah ada keluarga Pak Radain yang terjebak di dalam api?" tanya Pak Salam.
     "Tidak, kebetulan seluruh keluarganya pergi ke ladang untuk mencabuti kacang tanah di Pulai."
     "Syukurlah. Mudah-mudahan kita dapat menangkap pelakunya agar dia dapat tertangkap," ujar Pak Salam sambil dengan cepat mengambil buntalan berbungkus kain merah itu.
     "Nah mari lebih giat menyiramnya, mudah-mudahan api ini dapat padam karena biangnya telah tertangkap," ujar Pak Salam lagi.
Kemudian dia menoleh kepada Engku Palo. "Bagaimana kalau benda ini kita bawa ke balairung saja, Engku?" tanyanya.
     "Kenapa harus ke Balairung, Pak Salam?"
     "Itu lebih baik saya rasa, Engku. Sebab jika benda ini tidak kembali, tentu si pengirimnya akan datang menjemput. Sebab jika tidak didapatnya kembali, maka yang menjadi setan sigulambai ini akan menghancurkan dirinya sendiri. Jika saja orangnya datang ke tempat ini, tentunya kita tidak dapat mempertanggungjawabkan amukan penduduk. Lagi pula tentu kita tidak akan dapat memperoleh keterangan lebih banyak dari dia. Jadi saya rasa lebih baik kalau kita menunggunya di balairung saja. Dan Engku perintahkan agar tidak ada yang mengikuti kita ke sana kecuali saya dengan anak muda itu," katanya sambil menunjukku.
     Hanya kami bertiga berada di balairung. Aku, Pak Salam dan Kepala Desa, Engku Palo. Dan kami bertiga pula menunggu kehadiran orang yang akan menjemput buntalan yang berbungkus kain merah yang berfungsi sebagai sigulambai atau api kiriman itu.
     Memang di dunia ini banyak hal-hal aneh yang terkadang tidak masuk akal. Seperti halnya buntalan yang ada di tangan Pak Salam sekarang ini. Bagaimana mungkin sebuah buntalan yang terbungkus oleh kain dapat berfungsi sebagai api yang dapat membakar rumah sedangkan kain yang menjadi pembungkusnya tidak cidera sedikit pun oleh api? Aku tidak mengerti, dari mana manusia memiliki kepandaian yang dapat mengubah kain menjadi api yang dapat membakar, malah sangat dahsyat sekali.
     Aku yakin pada zaman sekarang ini, jika saja Anda mendengar cerita mengenai benda seperti itu, tentunya Anda akan menganggap suatu omong kosong yang konyol. Itu terserah Anda, karena Anda tidak menyaksikan seperti yang kusaksikan. Begitu juga bagaimana sebuah tempurung kering yang dilemparkan ke dalam amukan api tidak terbakar sama sekali, malah dapat berfungsi sebagai penangkap benda yang menjadi musabab datangnya api itu? Benar-benar tidak akan masuk akal. Namun masuk akal atau tidak, demikianlah yang kusaksikan.
     Kini aku menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Menunggu seperti yang dikatakan Pak Salam, bahwa si pengirim sigulambai itu akan menjemput benda kirimannya jika tidak kembali dalam waktu yang telah tertentu. Jika tidak, dia yang akan dimusnahkan oleh si pemilik benda itu. Yang tentu saja adalah makhluk gaib entah dari jenis apa.
     Hampir setengah jam kami duduk menunggu di balairung. Tanpa bicara. Rasanya seperti saat-saat yang menegangkan. Sesekali aku melirik ke luar melalui jendela, kalau-kalau orang yang dimaksud Pak Salam telah datang. Secara sekilas aku melihat ada orang lewat di jalan di depan balairung. Tidak begitu jelas orangnya. Ah, mungkin orang yang hanya kebetulan lewat, pikirku. Aku masih tetap tenang. Karena dalam kasus ini aku tak lebih sebagai orang yang memperoleh kehormatan sebagai peninjau suatu kejadian. Mungkin hanya karena aku yang melihatnya pertama maka Pak Salam begitu bermurah hati memberi kehormatan itu kepadaku.
     Sekali lagi aku melihat orang lewat. Kini lebih jelas. Rupanya orang itu Pak Maruhun. Memang hampir seluruh penduduk desa ini kukenal. Maklumlah desaku tidaklah terlalu luas sehingga tidak begitu sulit mengenali orang. Kulihat Pak Maruhun berjalan seperti orang bimbang. Dalam hatiku segera timbul kecurigaan, tetapi tidak kuutarakan baik kepada Pak Salam maupun Kepala Desa. Kecurigaan itu kupendam sendiri. Aku yakin, bahwa Pak Maruhunlah yang untuk kedua kalinya lewat di jalan itu, melihat warna pakaian yang dikenakannya. Memang wajah orang tidak mudah dikenali secara sepintas, tetapi aku ingat sekali dengan warna pakaiannya.
     Setelah untuk ketiga kalinya Pak Maruhun lewat baru aku berani berkata, "Pak Maruhun, dia sudah tiga kali bulak-balik lewat di depan," ujarku setengah berbisik.
     "Biarkan saja," kata Pak Salam. "Kalau benar dia, tentunya dia akan datang ke sini."
     Dalam jarak sekitar lima puluh meter dari balairung, kulihat Pak Maruhun berdiri. Memandang ke arah balairung. Di wajahnya tercermin perasaan bimbang yang bergejolak dalam hatinya. Langkahnya bagai mundur maju untuk menuju ke balairung.
     Ketika aku lengah beberapa saat, tiba-tiba Pak Maruhun telah berada di ruangan balairung. Matanya nanar memandang Pak Salam.
     "Ada kesulitan, Pak Maruhun?" tanya Kepala Desa.
Pak Maruhun tidak mengacuhkan pertanyaan Kepala Desa. Jangankan menjawab , menoleh pun dia tidak.
     "Ada perlu denganku, Pak Maruhun?" tegur Pak Salam.
Mata Pak Maruhun tidak berkedip memandang Pak Salam. Kulihat Pak Maruhun bagai menelan ludah, jakunnya bergerak turun naik.
     "Salam!" ujarnya bagai suara yang tertekan ke dalam. "Kembalikanlah dengan damai," katanya lagi.
     "Duduklah dulu Pak Maruhun. Kita bicara lebih tenang. Saya tidak mengerti apa yang Pak Maruhun maksudkan," kata Pak Salam dengan tenang.
     "Kau lancang, Salam," kata Pak Maruhun lagi.
Kusaksikan ketegangan semakin mencekam dengan suara menggeram yang keluar dari mulut Pak Maruhun.
     "Terimalah balasan atas kelancanganmu itu, Salam," geramnya sekali lagi. Dan entah bagaimana sebuah badik telah menembus lambung Pak Salam. Mungkin dia tidak awas, sehingga Pak Maruhun dengan mudah dapat menikamnya. Baik aku maupun Engku Palo bagai terpukau melihat kejadian yang begitu cepatnya.
     "Biadab kau, Maruhun," lenguh Pak Salam kesakitan sambil melemparkan bungkusan sigulambai yang ada di tangannya ke wajah Pak Maruhun. Rupanya kini Pak Maruhun pun tidak waspada. Buntalan itu tepat mengenai wajahnya dan langsung berubah menjadi gumpalan api. Bagaikan jerami kering, dengan cepatnya api itu membakar wajah Pak Maruhun. Aku yang menyaksikan menjadi gelagapan tak tahu apa yang harus kulakukan. Untung Engku Palo dapat bertindak cepat. Dibukanya baju Pak Salam lalu dijadikannya perban untuk menutup lukanya agar darah dapat berkurang ke luar. Sedangkan Pak Maruhun menggelepar dengan wajah terbakar api menyala. Benar-benar sangat mengerikan.
     "Tan Baro, cepat kaugendong Pak Salam, bawa ke rumah Dukun Labai," kata Engku Palo kepadaku. Tanpa bertanya lagi aku segera menggendong tubuh Pak Salam menuju rumah Dukun Labai yang terkenal pandai mengobati luka dan patah tulang. Dalam perjalanan orang-orang keheranan melihat aku menggendong tubuh Pak Salam yang penuh darah.
     "Kenapa Pak Salam, Tan Baro?" tanya mereka.
     "Ditikam Pak Maruhun," jawabku. "Di mana?"
     "Di balairung."
    "Apa sigulambai itu punya Pak Maruhun?"
     "Ya!"
     Tanpa berusaha menolongku menggendong tubuh Pak Salam, mereka berbondong-bondong menuju ke balairung. Dan aku bersyukur, ketika sampai di rumah Dukun Labai kebetulan dukun itu berada di rumah, hingga Pak Salam dapat segera ditolong. Rasanya ingin aku segera kembali ke balairung untuk menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya atas diri Pak Maruhun. Tetapi tidak mungkin aku meninggalkan Pak Salam begitu saja di rumah Dukun Labai. Mau tidak mau aku terpaksa menungguinya.
     "Hmm, beracun juga badik si Maruhun itu," gumam Dukun Labai.
     Aku hanya mengangguk saja untuk mengiyakan, karena sebenarnya pikiranku tidak berada di rumah itu, tetapi bagai berusaha untuk membayangkan apa yang kini sedang terjadi di balairung. Mungkin saja Pak Maruhun menjadi sasaran amukan kemarahan penduduk dengan ilmu yang dipunyai. Atau mungkin saja dia telah mati oleh sigulambai yang dipeliharanya. Senjata makan tuan.
     Memikirkan itu aku jadi bergidik. Ngeri rasanya menuntut suatu ilmu mistik karena risikonya terlalu besar dibanding dengan hasil yang dapat dipetik.  
(Cerita oleh Tan Baro)

0 komentar:

Posting Komentar